Part 39

18.6K 1.3K 21
                                    

Happy reading ❤️❤️❤️

_____

"Kenapa kamu harus nikah sama Gama? Harusnya kita masih bisa bersama kalau kamu nggak sama Gama."

Naysa mengerutkan dahi. Afra menahan emosi yang ingin segera diluapkan. Sebagai sepupu, ia merasa malu pada Naysa atas sikap Arfin yang masih menginginkan Sahabatnya.

"Nggak ada kata harusnya untuk sekarang. Sekarang yang harus kamu lakukan adalah jaga sikap dan jarak sama aku."

Bukannya seharusnya begitu? Bukankah seharusnya Arfin lebih tahu diri jika yang ia sukai ini adalah istri orang, terlebih lagi istri dari sepupunya. Tidakkah Arfin merasa malu pada orang-orang terlebih Gama karena masih menyimpan perasaan suka pada Naysa? Atau apa dia merasa bangga karena pernah menjadi bagian dari hidup Naysa di masa lalu.

Tapi hidup terus berjalan ke depan dan untuk masa depan. Tidak bisa mundur lagi ke belakang. Tidak bisa kembali ke masa yang telah terlewati. Masa lalu hanya akan menjadi sebuah cerita yang tidak mungkin terulang lagi. Sekalipun bisa diulang maka tidak akan sama lagi.

"Aku udah dengan pilihan dan hidupku sekarang. Kamu juga harus bisa muka mata dan hati untuk menatap dan meraih masa depan kamu. Jangan seperti ini, Arfin."

Arfin melirik ke arah mana saja Asala tidak pada Naysa. Melihat Naysa entah mengapa rasanya sulit untuk percaya jika wanita ini benar-benar tidak bisa ia perjuangkan lagi.

"Kamu harus belajar menerima kenyataan yang sesungguhnya, Fin. Aku bukan lagi Naysa yang dulu kamu temui saat masih SMP," kata Naysa lagi.

Naysa mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Afra di sampingnya. Senyum getir tampak menghiasi wajah Arfin. Pria itu menengadah ke atas. Menatap indahnya lukisan indah di langit.

"Kamu pikir aku nggak belajar, Nay? Kamu pikir aku nggak berusaha untuk melupakan kamu? Aku berusaha dan aku belajar menutup kisah lama kita tapi tetap aja aku gagal. Aku nggak mampu."

"Ikuti apa kata hati kamu. Kamu cuma belum menemukan orang yang tepat aja."

"Aku nggak mau menjadikan orang lain sebagai pelampiasan rasa kecewa ini, Nay. Aku nggak mau menyakiti banyak hati hanya karena rasaku ke kamu belum pudar."

Mendenger itu, Afra menghela nafas panjang dan melepaskan dengan lembut tangan Naysa yang terpaut dengan tangannya. Mendekati Arfin dan menepuk bahu sepupunya itu lembut.

"Lo nggak harus cari orang lain yang bisa lo jadikan untuk pelampiasan rasa, Fin. Lo cukup menerima dengan baik apa yang terjadi sekarang. Kenyataan apa yang harus diterima. Jangan memaksakan sesuatu. Naysa cinta sama lo, dan itu dulu. Bukan sekarang. Kadang dua orang akan saling bertemu untuk jatuh cinta tapi nggak tentu bisa menjalin cinta. Nggak semua orang yang jatuh cinta akan merasakan indahnya cinta pada orang yang dia maksud. Tolong Fin, mengerti keadaan."

Perlahan, sedikit-sedikit Arfin melirik pada parut Naysa yang menonjol. Ia memang sudah keterlaluan dalam menaruh rasa. Perut buncit itu sudah membuktikan betapa Naysa mencintai Gama. Menikah dan merasakan indahnya dicintai oleh Gama membuat Naysa hamil.

Pandangan Arfin beralih pada Afra yang masih menatapnya penuh harap agar meresapi walau sedikit dari rentetan kalimat yang ia ucapkan tadi.

"Iya Fra. Gue akan belajar lagi untuk semua itu. Thanks ya."

Afra tersenyum dan menepuk sekali lagi bahu Arfin meski lelaki itu lebih tinggi dari dirinya tapi tangan Arfa masih mampu untuk menjangkau bahu kekar Arfin.

"Maaf ya Nay. Maaf untuk semuanya. Semoga kamu semakin dan sekali bahagia di dekapan Gama. Aku minta doanya. Semoga bisa ikut bahagia walau entah sama siapa nantinya," kata Arfin.

Secepat itu ia sadar setelah mencerna ucapan berfaedah dari Arfa. Suatu prestasi baginya yang bisa dengan mudah mengendalikan perasaan.

Naysa mengangguk dan menunjukkan senyuman tipis. Mengapa tipis? Ia tidak ingin dikira kembali menggoda Arfin. Ia tidak ingin Arfin kembali terbawa perasaan akan sikapnya.

"Insya Allah aku doain kamu, Fin. Tetap semangat ya."

Arfin tidak bisa dan mungkin tidak akan bisa melupakan Naysa tapi ia pasti bisa bahagia meski tanpa Naysa.

"Ya udah kalau gitu ... sekarang lo pulang dan itu lukanya diobati. Kita juga mau ke mushola dulu."

"Gue juga mau sholat dulu. Mana tau di masjid nemu bidadari," sahut Arfin.

Naysa dan Arfa berpandangan lantas terkekeh bersama. Arfin telah kembali.

"Aamiin semoga ketemu di masjid dan nanti berakad di masjid juga."

Gama pasti mengerti jika alasan Naysa telat pulang karena harus mampir ke rumah ibadah dulu.

_____

"Kok diem aja. Mas kenapa?" tanya Naysa.

Sepulang dari mall tadi Naysa langsung mandi dan menyiapkan baju santai untuk sang suami yang katanya sudah dalam perjalanan pulang. Kata Gama, malam ini mereka akan makan malam di rumah dan Gama sendiri yang akan masak. Naysa benar-benar diragukan. Tapi Naysa tetap melaksanakan tugasnya sebagai istri. Melayani Gama semampu yang ia bisa dan sebaik yang ia punya.

Tadi Naysa pikir ia memang terlambat pulang tapi ternyata tidak. Gama masih di kantor karena mendadak ada yang ingin bertemu.

Setelah mandi Gama tampak duduk di samping ranjang dengan tatapan lurus ke depan. Kosong. Seperti ada hal yang sedang dipikirkan.

Naysa ikut duduk di sebelah Gama saat sang suami menarik tangannya dari menggenggamnya lembut. Menatap dalam mata Naysa tanpa kedip. Hatinya tenang setelah menatap binar itu. Lelahnya hilang setelah menatap sinar wajah sang istri. Istrinya benar-benar menjadi penyejuk mata baginya. Nikmat Tuhan yang mana lagi yang tidak patut untuk ia syukuri?

"Tadi Arfin ke kantor."

Deg.

Raut wajah Naysa menunjukkan kegundahan. Ia tau karena tadi sudah bertemu Arfin dan melihat jejak tangan Gama di wajah pria itu.

"Maafin aku, Mas. Maafin aku yang...,"

Pelukan Gama tiba-tiba dari Gama membuat Naysa menghentikan ucapannya. Pria itu mengelus lembut punggungnya dan mengecup puncak kepala Naysa lama.

"Sudah aku maafkan."

Naysa takut Gama diam dan bersikap dingin padanya. Ia takut Gama tidak menghiraukan setelah tadi bertemu Arfin.

"Tetap di sisiku, Nay. Apa pun yang terjadi. Jangan berpaling dari aku, ya."

Permintaan Gama menusuk sampai ke jantung Naysa. Betapa ia tidak bisa berbohong akan rasa cintanya pada Gama. Di saat banyak suami mendiami, mengacuhkan, bahkan bertindak kasar pada istrinya lantaran cemburu, tapi tidak dengan Gama. Suami dari Naysa ini justru mendekapnya erat sembari menumpahkan keinginan yang sebenarnya juga menjadi keinginan Naysa. Apa lagi alasan Naysa untuk tidak menyematkan kata tercinta untuk Gama? Sederhans tapi sempurna cinta suaminya.

Naysa mengecup dada Gama dan menitikkan satu air mata bahagia. Ia longgarkan pelukannya demi bisa melihat binar indah sang suami yang juga selalu menunjukkan cinta untuknya.

"Iya Mas. Dekap terus aku ya. Apa pun yang terjadi. Kalau dulu aku tau jodoh aku adalah Mas Gama, aku nggak akan pacaran sama siapa pun. Aku akan nungguin Mas sampai kita nikah."

Gama tersenyum. Dikecupnya pipi kanan Naysa lembut.

"Alhamdulillah kita untuk nikah. Sekarang kamu cuma untuk aku dan aku untuk kamu."

Naysa mengangguk. Tidak tau harus berkata apa lagi. Ia lega dan bahagia mendapatkan suami seperti Gama.

"Tadi aku dan Afra ketemu Arfin. Semuanya baik-baik aja Mas."

Bagaimanapun ia harus jujur.

"Alhamdulillah. Aku percaya istriku setia dan hanya tergoda sama aku."

Gama mengelus perut buncit sang istri dengan bibir yang tersemat senyuman manis. Sebisa mungkin mereka akan mengedepankan komunikasi agar masalah sekecil apa pun terurai dengan baik.

Dalam Sentuhan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang