Part 4

39.6K 2.7K 46
                                    

"Kalau Mas Gama berangkat besok aja gimana, Mas?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir manis Naysa. Gama menoleh sekilas pada Naysa yang menatap lurus ke depan memperhatikan mobil dan motor yang saling balap di depan mobil yang saat ini Gama kendarai.

"Nggak bisa Nay ... sebisanya aku ingin urusan ini cepet selesai karena setelahnya masih ada urusan lain lagi," jawab Gama tenang.

Tanpa sadar Naysa menghela kasar yang disadari Gama. Bagaimana Naysa bisa tenang jika membiarkan Gama yang akan pergi dengan Mita. Ia yang sebagai istri saja belum pernah merasakan di udara bersama Gama. Bagaimana nanti jika Gama dan Mita duduk berdampingan? Ah ... Naysa semakin tidak ingin Gama pergi.

"Ada yang mengganggu pikiran kamu? Aku sama Mita nggak ada hubungan apa selain sepupuan."

Mengapa Gama pintar sekali membaca air muka Naysa? Apa keliatan dengan jelas kah kekhawatiran Naysa?

"Ngggg ... nggak ada kok. Ak ... Aku juga nggak ada curiga sama Mas dan Mbak Mita," jawab Naysa sedikit terbata.

Gama mengangguk pelan. Tangan kirinya mencoba berani menggapai tangan kanan Naysa. Membuat jantung Naysa lagi-lagi bagai disambar petir. Tadi di rumah ayah dan bunda ia memang sengaja menempelkan diri pada Gama dan tidak merasa canggung karena Naysa pikir semua anggota keluarga maklum.

Beda dengan sekarang, mereka hanya berdua di dalam mobil. Naysa masih belum terbiasa dengan genggaman dari Gama, jantungnya masih sering kaget jika salah satu dari anggota tubuhnya disentuh pria itu.

"Kamu cemburu."

Naysa tahu itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan yang membuatnya langsung menoleh pada Gama.

"Kata siapa?"

Senyuman Gama lagi-lagi tersungging melihat wajah menggemaskan yang Naysa tunjukan. Kecupan di punggung tangannya membuat Naysa membuang muka ke arah jendela. Ingin menghentakkan tangannya dari genggaman Gama tapi rasa nyaman lebih mendominasi. Di luar sana beribu wanita ingin berada di posisinya dan Naysa tidak ingin menyia-nyiakan hal ini. Meski ia menolak berjodoh dengan Gama tapi siapa yang bisa menolak ketetapan takdir? Hanya doa, kan? Nah, ini masalahnya Naysa terlalu remeh temeh dengan hal jodoh.

Naysa juga mengaku kurang berdoa dan kurang memohonkan pada Allah akan jodoh impiannya seperti apa. Pasrah saja dirinya jika perihal tambatan hati. Mungkin Gama yang katanya dari dulu sudah menaruh cinta padanya lebih sering dan giat dalam berdoa. Mana bisa Naysa menyalahkan takdir.

"Semenjak kenal sama kamu dari dulu aku nggak pernah merespon setiap melihat kembang yang berjejer rapi," ujar Gama dengan sesekali memainkan jemari Naysa di bibirnya.

"Affa iyya?"

"Hem."

Semoga saja apa yang Gama katakan itu benar. Ada kesenangan tersendiri jika ternyata Gama selalu menjaga hati demi dirinya yang waktu itu tidak tau entah di mana dan akan menikah dengan siapa. Feeling Gama kuat juga ya.

"Dari dulu kembangnya nggak ada yang bikin kamu betah? Secara ... nggak mungkin kumbang nggak tertarik dengan kembang."

Naysa mulai bertanya. Tidak baik menyimpan rasa penasaran. Umur manusia tidak ada yang tahu. Naysa tidak ingin dirinya mengalami peristiwa yang sama seperti lirik lagu lawas itu. Mati penasaran.

"Kembangnya yang nyuruh aku pergi."

Bandara semakin dekat dan tanpa sadar tangan Naysa semakin mengeratkan genggaman tangan Gama.

"Kok bisa?"

Kumbang tampan nan rupawan seperti Gama kok ada yang nolak? Secara fisik dan materi sih Naysa merasa oke. Tapi hati masih deg deg ser kalau terus berdekatan seperti ini.

"Karena mereka nggak mampu bersaing dengan kembang yang sedang aku rindukan."

"Aku ya Mas?"

Tebak-tebakan saja mana tau benar. Haha.

Gama spontan mengangguk. Naysa percaya karena apa yang katakan Gama sama persis dengan apa yang Afra katakan.

Afra adalah sahabatnya yang merupakan adik sepupu dari Gama. Jadi sebenarnya sudah ada bocoran-bocoran dari sifat Gama yang tersampaikan padanya tentu saja melalui sang sahabat, Afra.

"Kalau aku masih di Surabaya, kamu pergi-perginya minta ditemenin sama Afra atau bunda aja ya. Soalnya yang namanya Lintang itu masih suka pantau kamu."

Naysa mendongak, tepatnya menatap wajah bagian kiri Gama. Mengapa Gama tahu soal Lintang yang masih sering mendekatinya? Padahal sebisanya Naysa menyimpan rapat-rapat hubungannya yang telah berlalu dari Gama.

"Lintang masih belum terima aku menikah, Mas. Terlalu sulit untuk dia menerima jika aku bukan jodohnya," gumam Naysa pelan.

Naysa harus seimbang bukan? Jika dirinya yang tidak suka Gama dekat atau didekati wanita lain itu artinya ia juga harus menutup pintu-pintu yang membuat pria lain bisa mendekat. Nasihat Mama untuk setia pada pasangan masih sangat terekam jelas di otak cantiknya.

"Makanya sebisa mungkin kamu jangan beri peluang untuk Lintang mendekat. Kalau takdir maunya aku yang harus dampingi kamu, Lintang bisa apa?"

Benar juga. Naysa merasakan sedikit hampa saat tangannya diletakkan di atas paha. Matanya melirik ke arah kaca depan mobil. Ternyata mereka sudah sampai di bandara. Huft ... sebentar lagi Gama akan pergi.

Naysa merubah duduknya jadi menghadap Gama. Dari mereka, tidak ada yang berniat beranjak keluar dari mobil. Seperti ingin saling menikmati waktu berdua di saat-saat singkat ini.

"Sampai Surabaya jangan lupa telepon aku ya Mas. Sorry kalau aku nggak bisa nunggu sampai Mas naik pesawat karena ini harus ke kampus," ujar Naysa sedih.

Dari tadi ponselnya yang ada di saku rok span hitam miliknya terus bergetar yang ia tahu itu notifikasi pesan dari teman-teman kampusnya. Awalnya juga mengantar Gama ke bandara tidak masuk daftar pagi ini tapi hatinya panas melihat tatapan Mita pada Gama. Tidak rela rasanya jika harus membiarkan sang suami satu mobil dengan Mita.

"Iya asal hpnya jangan dikasih mati. Selalu hati-hati ya di sini. Semoga makin deket sama bunda."

Naysa mengangguk sebelum keluar dari mobil, Gama sempat mengecup kening Naysa yang membuat tubuh Naysa kaku dengan hati yang bergetar. Sungguh jantungnya tidak baik-baik saja saat ini. Ada rasa damai bercampur gugup setiap kali Gama menyentuh tangan atau rambutnya.

"Hati-hati nyetirnya," pesan Gama lagi yang hanya diangguki Naysa.

Mereka berdiri saling berhadapan di depan mobil. Lama saling berpandangan hingga Naysa tersentak saat tubuhnya ditarik pelan untuk masuk ke dalam pelukan Gama. Pelukan sebelum berpisah memang terasa menyesakkan tapi bukan hanya mereka yang merasakan semua ini.

"Semoga istriku selalu dalam lindungan Allah."

Naysa meleyot mendengar doa tulus dari bibir lelaki yang berstatus sebagai suaminya ini.

"Aamiin. Doa yang sama untuk Mas ya. Jaga mata dan hati," ujar Naysa masih dalam pelukan hangat Gama.

Cup

Satu kecupan lagi Naysa rasakan berlabuh di jidatnya sebelum pelukan mereka terurai hingga lambaian tangan mengantarkan Naysa untuk pergi meninggalkan area bandara.

_____

Komen dan vote ya. Seikhlasnya ❤️❤️❤️

Dalam Sentuhan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang