"Maafin Dafa ya Om. Dafa nggak sengaja."
Arfin melirik ke bawah dengan kepala sedikit menunduk. Seorang bocah dengan pakaian sekolah SD menabrak dirinya. Beberapa barang yang dibawa bocah itu tergeletak di atas tanah.
"Iya nggak apa-apa. Kamu mau sekolah tapi kenapa bawa gorengan? Sekolah sambil jualan?" tanya Arfin penasaran.
Dafa mengangguk sambil mengumpulkan gorengan yang tadi jatuh di tanah. Sudah tidak bisa di makan lagi karena kotor.
Arfin tidak lepas dari rasa bersalahnya. Pria tampan itu membantu Dafa memungut gorengan untuk dimasukkan ke dalam toples plastik besar.Melihat dari pakaian yang Dafa pakai, Arfin bisa tahu jika bocah ini bukan dari keluarga yang berada. Seragam putih merahnya tampak berubah warna. Lagian mana ada anak orang kaya sekolah sambil menenteng gorengan.
"Ini untuk Om aja. Karena Om juga nggak lihat kamu jadi om juga salah. Om yang bayar," kata Arfin sambil memegang toples plastik yang ada di depan Dafa.
Dafa menatap tidak percaya.
"Semuanya berapa?"
Dafa mengambil kertas kecil yang tadi ikut terbuang ke tanah. Di kertas kecil itu biasanya ditulis jumlah gorengan yang akan ia titipkan pada ibu kantin sekolah.
"Semuanya 30 ribu, Om. Tapi itu udah nggak bisa dimakan lagi. Rugi kalau Om bayar. Nggak apa-apa nanti Dafa bilang jatuh sama Bunda."
"Kalau Om nggak bayar, kamu yang akan rugi."
Arfin mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah dari saku celananya. Dompetnya tertinggal di mobil.
"Tolong sampaikan maaf om ke bunda kamu, ya."
Dafa tidak menerima dua lembar uang merah itu. Malah menatap dalam pada Arfin.
"Itu uangnya kebanyakan, Om. Gorengan Dafa cuma 30 ribu aja kok," kata Dafa.
Arfin tersenyum dan mengelus pundak Dafa lembut.
"Nggak apa-apa ini buat jajan Dafa aja," kata Afrin.
Dafa menggeleng.
"Dafa tetap nggak bisa terima, Om. Ini juga gorengannya udah nggak bisa dimakan."
"Nanti gorengannya Om kasih ke ayam-ayam om di rumah aja. Kalau gitu nanti pulang sekolah Dafa antarin Om ketemu bunda ya. Om mau ngomong sama bundanya Dafa," kata Arfin lembut.
Arfin jadi penasaran pada orang tua anak ini. Bukan anak orang kaya dan keliatan tidak beruang tapi dengan lantang menolak pemberian orang lain.
"Iya om boleh."
"Nanti Om tunggu di sini ya."
Dafa mengangguk dan memasuki gerbang sekolahnya. Mengunjungi proyek tidak sampai sore dan Arfin yakin ia bisa datang tepat jam 12 siang ke sini lagi untuk menjemput Dafa.
_____
Sepanjang jalan dari kantor Gama menuju rumah mereka, Naysa tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Wajah wanita itu ditekuk membuat Gama beberapa kali menghela nafas panjang karenanya.
"Yang, itu ada yang jualan rujak. Masih pingin makan rujak?" tanya Gama berusaha mencairkan suasana yang sedari tadi hening.
Naysa mengangguk dan mengubah tersenyum. Rasa lega menghampiri Gama melihat istrinya tersenyum. Setidaknya sang istri masih mau senyum dan menjawab ucapannya.
Pemilihan sekretaris Gama berhasil membuat emosi Naysa diaduk. Semua yang datang tidak ada yang cocok di mata Naysa juga Gama. Berpakaian terlalu seksi juga berbicara mendayu-dayu pastinya Naysa langsung menolak calon sekretaris seperti itu.
"Aku turun dulu ya."
Gama menahan tangan Naysa dan meletakkan satu uang ratusan ribu di sana. Naysa menatap tanya pada Gama.
"Beli rujak biasanya nggak bisa pakai kartu, Yang."
Naysa mengulum senyum menyadari kebodohannya. Ia memang tidak memegang uang cash karena memang Naysa lupa bawa dompet.
"Iya deh... Makasih ya Mas."
"Selalu sama-sama sayangku."
_____
"Makan nasi dulu ya. Habis itu baru makan rujaknya. Nanti kamu sakit perut," kata Gama.
Keduanya menghampiri dapur dan Naysa langsung mengambil piring dan sendok. Tatapan Naysa lesu pada Gama yang dengan seenaknya jidatnya meletakkan sesendok nasi di atas piring yang Naysa sediakan. Itu kan piring untuk rujak.
"Mas...."
"Makan nasi dulu. Nanti aku bantu makan rujaknya."
Gama menambahkan sayur tumis jagung ke dalam piring Naysa. Bibir sang istri terlihat cemberut.
"Nggak boleh bagi. Ini tadi aku yang beli dan cuma satu. Kalau Mas mau beli aja sendiri!"
Eh, kok ngegas? Ada yang aneh dari Naysa.
Gama mengusap kepala wanitanya. Memberikan kecupan manis di sana sebelum memeluk erat tubuh sang istri dari samping."Besok kita ke rumah sakit ya. Jangan-jangan kamu udah isi lagi. Beberapa hari ini kan sikap kamu agak beda dan makanannya juga suka aneh-aneh. Badan juga udah makin lebar itu."
Naysa memukul tangan Gama mendengar kalimat terakhir yang pria itu katakan. Melebar katanya? Memang iya sih tubuh Naysa lebih berisi sekarang. Semenjak menikah dan bahagia karena mendapat suami baik seperti Gama. Malam Naysa tidurnya nyenyak dan setiap makan, makannya pasti nambah.
"Kalau nanti hamil juga makin lebar. Mas keberatan?" tanya Naysa sewot.
Gama mengecup pipi Naysa dan menggeleng.
"Nggak dong. Kamu hamil kan aku yang buat. Semoga pas hamil kamu sikapnya manja-manja aja ya ke aku. Jangan marah-marah nanti aku nangis," jawab Gama.
Mau tidak mau Naysa tersenyum sambil memasukkan sesuai nasi ke dalam mulutnya. Tanpa sadar Naysa menggenggam tangan Gama yang ada di atas perut datarnya.
"Semoga beneran hamil ya Mas."
Gama mengangguk dan mengecup ujung hidung Naysa.
"Aamiin. Pokoknya besok harus mau ke rumah sakit ya."
Naysa mengiyakan. Sepiring nasi dengan jagung tumis ditambah lauk lainnya mereka habiskan berdua. Setelahnya Gama hanya menatap minat Naysa yang semangat menghabiskan sebungkus rujak bumbu kacang yang tadi mereka beli. Belinya pakai uang Gama tapi yang makan Naysa, sang istri tercinta. Atas nama cinta saja Gama rela begini.
"Kenapa?" tanya Gama saat Naysa mendorong pelan piringnya.
"Udah nggak mau lagi."
Gama tersenyum dan meraih sendok.
"Aku abisin ya. Nggak baik kayak gini," kata Gama.
Naysa mengangguk. Menyandarkan kepala di bahu sang suami dengan sebelah tangan saling menggenggam dengan tangan Gama.
"Agak asin nggak sih, Mas. Rujaknya?"
"Lumayan asin tapi enak banget ini."
Naysa terkekeh sambil memperhatikan Gama yang serius makan rujaknya.
"Kamu ke kamar ya, siapin baju sholat aku. Udah mau Maghrib, Sayang."
Pipi kanan Gama dikecup mesra oleh sang istri.
"Iya suamiku. Nanti aku siapin pas Mas Gama wudhu aja. Pingin sesuatu setelah ini."
Gama menatap curiga pada Naysa. Sang istri menunjukkan senyum manis padanya.
"Pingin apa?"
"Pingin digendong sampai ke kamar. Seharian ini nemenin Mas di kantor badanku pegel tiduran di sofa terus," kata Naysa.
Gama menyentil pelan jidat Naysa sebelum mengecupnya lembut.
"Siap Nyonya Gama."
Pipi Naysa bersemu mendengarnya.
Di Karyakarsa sudah sampai part 39 ya. Kuy ke sana❤️❤️❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Sentuhan Cinta
RomanceGama itu ganteng, baik, pinter masak, dan kaya raya. Apalagi alasan Naysa untuk tidak jatuh cinta? Diam-diam Naysa tidak bisa menolak rasa nyaman yang ditawarkan oleh pelukan Gama. Ingin didekap terus untuk hari ini, esok, dan nanti.