Naysa menghampiri Gama yang setengah berbaring di atas tempat tidur. Kegiatan Gama memainkan ponsel milik sang istri pun terhenti saat merasakan gerakan di tempat tidur. Membuka tangannya lebar-lebar agar Naysa bisa mudah masuk ke dalam dekapan hangatnya.
Kaki mereka berada di bawah selimut."Tadi papa kasih tau aku kalau besok mereka pulang ke Indonesia. Papa juga bilang tolong sampaikan maaf karena nggak bisa pulang hari ini," kata Naysa di dalam pelukan Gama.
"Iya tadi juga papa udah telepon aku kok."
Gama meletakkan dagunya pada puncak kepala Naysa. Mengecupnya penuh kasih sayang dan membuat Naysa ikut tersenyum. Tangan wanita itu melingkar indah di pinggang Gama.
"Sekarang dan untuk ke depannya mungkin aku akan lebih sibuk di kantor, Sayang. Karena yang aku harus urus bukan cuma perusahaan aku tapi juga perusahaan Almarhum ayah... Kevan masih kuliah dan belum pernah terjun ke kantor."
Ini saatnya Naysa menjadi pendengar yang baik untuk suaminya. Ia siap menerima semua hal mania Gama itu artinya ia juga harus siap menerima semua yang terjadi pada Gama. Siap jika nanti menanggung rindu karena sang suami terlalu sibuk di kantor atau sibuk bersama kliennya.
"Iya Mas. Yang penting Mas selalu sehat dan tetap semangat. Aku ngerti kok. Sesibuk apa pun Mas harus jaga kesehatan ya nantinya," ujar Naysa.
Wanita cantik kesayangan Gama itu sengaja mendongak agar bisa menatap dalam manik mata Gama.
"Selama ada Naysa, aku rasa aku akan baik-baik aja," bisik Gama.
Muach.
"Heh?"
Gama kaget karena dengan beraninya Naysa mengecup kilat bibirnya seperti tadi. Gama sengaja semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang Naysa.
"Lagi dong," bisik Gama.
Kini tangan kekar pria itu sudah merangkak ke bagian atas tubuh sang istri.
"Nggak ah."
"Dosa kamu nolak suami," kata Gama merubah posisi jadi Naysa berada di bawah tubuhnya.
Tangan wanita itu menahan dada Gama, berharap wajah mereka tidak bersentuhan meski kecil kemungkinannya.
"Dosa juga maksa-maksa istri."
Gama menaikkan sebelah alisnya dan langsung menyambar bibir tipis Naysa dengan lumatan cinta yang ia punya.
"Cium aja masa nggak boleh."
Setelahnya Gama menggulingkan tubuh ke samping Naysa. Saat ia terlentang ternyata sang istri bangun dan berganti menimpa dadanya. Tangan Gama mengelus pipi Naysa. Mata mereka saling menatap dengan penuh rasa. Mengirimkan segala sayang lewat tatapan mata.
"Malam ini mau itu, Mas? Aku kan udah aman," kata Naysa terdengar sangat lembut di telinga Gama.
Pria itu menatap lekat wajah cantik istrinya tanpa kedip.
Bagaimana Gama tidak gemas memiliki sahabat hidup seperti Naysa? Bahkan tidak sampai lima menit wanita itu mengatakan tidak ingin diciumnya kini malah menawarkan menggapai surga bersama. Kemungkinan Gama menolak sangatlah kecil.
"Mau nggak?" tanya Naysa lagi.
"Memangnya istriku yang baik hati ini mau? Udah nggak sakit? Bukannya tadi pagi kita...."
Bibir Gama langsung dibungkam oleh bibir tipis istrinya. Di sela saling berciuman hati Gama tersenyum melihat Naysa menutup matanya. Jika Naysa sudah berani memulai duluan itu artinya Naysa benar-benar siap.
Tangan Gama menarik selimut untuk menutupi keduanya sebelum mematikan lampu kamar hingga keadaan remang-remang.
"Kalau berisik gimana, Mas?" bisik Naysa sambil menahan suara.
"Teriak juga nggak papa, Yang. Kamar kita aman," kata Gama sebelum menelusupkan kepalanya pada leher jenjang Naysa.
Perlahan tapi pasti Naysa mulai merasakan dibawa terbang menembus angkasa raya oleh sang suami. Sakit itu masih ada tapi tidak sesakit yang pertama kali dan kali ini Naysa sangat menikmati dan ingin lagi.
Sebelum melakukan penyatuan yang pertama kali sebenarnya Naysa sudah ke dokter dan konsultasi tentang kontrasepsi yang aman untuknya karena Naysa tahu cepat atau lambat ia dan Gama pasti akan melakukan hal ini. Maka jika sudah seperti ini ia tidak perlu ragu lagi bila Gama ingin melakukannya kapan saja.
"Selimutnya jangan dilepas, Mas."
Bibir Gama mengecup pundak polos Naysa dan tidak lupa memberikan kissmark di sana. Buat di bahu sepertinya tidak masalah. Lagian Naysa juga tidak ada melarang.
Memadu kasih dan meraih cinta dengan balutan selimut kedua insan ini memang tengah dimabuk cinta. Gama mengelus lembut pipi Naysa setelah keduanya mencapai puncak kenikmatan bersama.
"Cantik," bisik Gama tepat di depan wajah Naysa.
Wanita itu menumpukan telapak tangannya pada dada bidang Gama. Berbaring saling berhadapan dengan Gama membuat Naysa bisa merasakan detakan jantungnya yang jauh dari kata normal. Ia yakin Gama pun merasakan itu.
"Masa sih? Padahal lampunya nggak nyala, kok Mas bisa lihat aku cantik?"
Ibu jari Gama mengusap lembut bibir tipis pink Naysa beberapa kali.
"Dasarnya kamu cantik, mau dalam keadaan remang-remang pun akan tetap terpancar cantiknya. Remang-remang tidak bisa menyembunyikan cantiknya istriku," gumam Gama tapi tetap didengar oleh Naysa.
Tepukan dari telapak tangan Naysa terasa di dada Gama.
"Buaya banget ngomongnya."
Naysa memunggungi sang suami dengan pipi bersemu meski ia yakin Gama tidak bisa melihat karena cahaya lampu tidur di kamar Gama ini nyaris gelap.
Jangan sangka Gama akan diam saat Naysa memberikannya punggung sebagai tatapan. Tentu saja pria itu semakin merapatkan tubuh mereka dan memeluk Naysa dari belakang.
Menumpukan dagunya pada bahu sang istri dan lagi-lagi membuat karya indah di sana."Tangannya nggak usah nakal deh, Mas. Tadi kan udah."
"Biar kamu nggak bobok dulu. Aku masih belum ngantuk."
Naysa menggenggam tangan Gama di atas perutnya. Ada rasa geli dan sensasi berbeda setiap kali berdekatan dengan Gama tapi Naysa sebisa mungkin mengontrol hatinya.
"Harus tidur, Mas. Akunya udah ngantuk."
"Sekali lagi ya."
Naysa menuntun tangan Gama ke arah dadanya yang dianggap lampu hijau oleh sang suami. Anggap saja ia tengah menghibur hati Gama yang sedih karena baru saja kehilangan Ayah Lukman.
"Asal Mas jangan main sama perempuan lain di luar sana, aku siap layani Mas."
"Apa sih? Perempuan mana yang bisa bikin aku nggak tahan selain Naysa? Nggak ada Sayang," balas Gama.
Tubuh Naysa bergerak gelisah saat Gama mulai melancarkan aksinya. Kembali mencumbu Naysa dengan senang hati, Gama benar-benar memperlakukan Naysa dengan selembut mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Sentuhan Cinta
RomanceGama itu ganteng, baik, pinter masak, dan kaya raya. Apalagi alasan Naysa untuk tidak jatuh cinta? Diam-diam Naysa tidak bisa menolak rasa nyaman yang ditawarkan oleh pelukan Gama. Ingin didekap terus untuk hari ini, esok, dan nanti.