Naysa menghampiri dapur dan terpaku melihat meja makan yang sudah berisi dengan dua piring nasi goreng bertabur udang ukuran kecil di atasnya. Dua gelas air putih di samping piring dekat tissue.
Beberapa tangkai mawar putih yang dikumpul menjadi satu ikatan bersandar cantik di kotak sedang ujung meja. Semakin mendekat ke meja makan bibir Naysa semakin tersenyum.
Menu sederhana yang siapa pun bisa membuatnya dengan mudah ini terasa istimewa bagi Naysa karena yang membuatnya sang suami tercinta. Hanya ia dan anaknya nanti yang boleh makan masakan Gama.
"Pake bunga segala. Mawar putih lagi."
Naysa mengambil tumpukan mawar putih itu. Menatapnya penuh senyum. Tersentak kaget saat sepasang tangan melingkari tubuh dan bertumpu di atas perut datarnya.
"Semoga suka dengan bunganya," bisik Gama.
Bunga mawar putih ini adalah bunga kesukaan Naysa yang dari dulu Naysa harap akan diberikan oleh tersayang nantinya. Ini bukan pertama kali Gama memberinya mawar putih tapi kedua kali.
Naysa berbalik dan tidak bisa menyembunyikan air matanya dari Gama. Pria itu tidak pernah melarang Naysa menangis. Gama siap menemani Naysa menangis dengan pelukan dan dekapan hangat.
"Nangis aja nggak apa-apa tapi kalau mau nangis harus di pelukan aku."
Dengan senang hati Naysa melingkarkan tangannya pada pinggang Gama. Menyembunyikan wajahnya pada dada bidang sang suami. Untuk melanjutkan tangis.
"Aku bahagia banget Mas. Makasih ya."
Gama mengangkat dagu sang istri dan mengecup kening Naysa hangat.
"Jangan tinggalin aku, ya. Aku akan berikan apa pun untuk kamu selagi aku bisa usahakan."
Gama mengelus pipi Naysa. Pancaran mata pria itu membuat Naysa bertanya di hati. Ada apa dengan suaminya?
"Jangan sungkan untuk bilang apa yang kamu mau," ujar Gama.
"Beneran? Mas mau kasih apa yang aku mau?"
Gama mengangguk tanpa ragu. Hidupnya kini untuk Naysa dan keluarga kecil mereka nanti. Wanita yang ia cintai selain Bunda Hani sudah ada dalam dekapannya. Ia beruntung memiliki Naysa dan ia ingin Naysa pun beruntung karena memilikinya.
"Aku mau hamil dan itu anak Mas Gama," jawab Naysa lembut.
Bibir Gama terangkat membentuk senyuman. Mengecup gemas bibir tipis istrinya. Dalam hati ia berdoa lagi semoga buah cinta mereka cepat hadir dalam rahim sang istri.
"Kita berdoa dan berusaha bersama ya. Semoga Allah ijabah," kata Gama tidak kalah lembutnya.
Naysa mengangguk.
"Aamiin."
Setelahnya Gama menuntun Naysa untuk duduk di salah satu kursi. Menyodorkan sepiring nasi goreng.
"Mas nggak makan?" tanya Naysa karena Gama tidak kunjung menarik piring yang satunya.
Pria tercintanya itu mengangguk dan merapatkan kursi mereka.
"Suapin ya."
Naysa menunduk malu kemudian mengangguk. Ia belum biasa menyuapi Gama makan. Berbagi sendok itu bagaimana nanti kondisi jantung Naysa.
"Udah pernah ciuman sampe hampir pingsan juga. Masa berbagi sendok aja gugup sih, Nay," bisik hatinya.
"Eh?"
Naysa memejamkan mata saat Gama mengangkatnya untuk duduk di atas sebelah paha pria itu. Maksudnya ini gimana? Makan dipangkuan Gama sambil suapin pria itu? Semoga saja Gama tidak mendengar debaran jantung Naysa yang kelewat batas ini.
"Suapin ya. Setelah ini kamu ganti baju dan ikut aku ke kantor, bisa?" bisik Gama.
Kenapa sih Gama hobinya bisik-bisik? Buat Naysa semakin gugup aja. Belum lagi tangan pria itu yang dengan santainya melingkar di pinggang Nsysa. Untung Bik Tia belum datang.
"Aku lagi cari sekretaris baru. Kamu nanti yang pilih ya."
Naysa mendongak bertanya dengan tatapan mata gemas miliknya.
"Untuk Mas?"
Gama mengangguk dan membuka mulutnya, Naysa menyuapkan satu sendok nasi goreng ke mulut sang suami.
"Mbak Mita?" tanya Naysa lagi.
"Dia resign."
Naysa tidak bertanya lagi. Mita sudah cerai dari suaminya dan ada sedikit kelegaan di hati Naysa saat mendengar kabar ini. Bukan, bukan ia senang Mita resign dari kantor suaminya, Naysa hanya tidak ingin ada hal buruk terjadi mengingat Mita memang dekat dengan Gama. Meski ada kata sepupu tapi tetap saja Naysa tidak suka.
"Mbak Mita kerja di kantor Om Zaki. Tante Linda yang minta sendiri ke aku."
"Kamu masih sering ketemu Arfin?" tanya Gama.
Naysa mengerutkan dahi, memutar bola mata sambil mengunyah nasi goreng sebelum menelannya.
"Udah nggak Mas. Bukannya kata Bunda, Arfin ke Surabaya, Ya?"
"Iya. Kalau dia datang ke Jakarta dan temuin kamu, tolong kamu langsung inget aku ya. Kamu udah punya aku," punya Gama.
Gagang sendok yang tadi dipegang Naysa terlepas di atas piring. Tangan kanan Naysa meraih jemari Gama dan menggenggamnya lembut, selembut tatapan matanya untuk sang suami.
"Aku ini milik Mas Gama. Istri Mas Gama dan calon ibu dari anak-anaknya Mas Gama. Masa laluku udah terkubur, Mas. Sekarang yang aku ingin jaga dan pegang erat itu cuma Mas. Tolong jangan ragukan aku."
Arfin terang-terangan mengatakan masih sayang pada Naysa di rumah Bunda Hani waktu itu cukup membuat Gama sudah tidur. Kekasih hatinya dilirik orang lain cukup membuat Gama takut tapi Gama masih bisa berpikir jernih jika ia akan selalu menggenggam tangan sang istri sesuai janjinya.
"Sayang ... aku nggak pernah ragu sama kamu, bahkan di saat kamu belum cinta sama aku pun aku yakin dengan rasaku. Apalagi sekarang. Tapi yang harus kita waspadai, kerikil itu pasti ada."
Benar kata Gama, kerikil dalam rumah tangga itu pasti ada. Entah apa dan siapa tapi yang namanya pernikahan tidak jauh dari ujian dan cobaan. Merangkai hidup berdua tidaklah mudah.
Naysa mengalungkan tangannya di leher Gama.
"Dan kita berdua yang harus menyingkirkan kerikil itu dari teras rumah kita. Aku udah bahagia sama Mas Gama. Udah lebih dari bahagia."
"Tapi tetap pingin hamil?"
Naysa mencubit pelan pinggang Gama.
"Itu impian setiap wanita, Mas. Tolong buat aku hamil."
Gama terkekeh mendengar kalimat terakhir Naysa.
"Oke. Tapi nanti malam lagi ya. Aku harus kerja Sayang biar bisa nafkahin kamu dan anak-anak kita nanti," jawab Gama langsung.
"Atau besok mau aku antar ke dokter?"
"Ngapain?"
"Konsul aja. Mana tau ada tips biar cepet hamil. Kita butuh periksa kesehatan dan lainnya juga kan, Yang."
"Sebelum nikah kan udah periksa kesehatan. Aku sehat,. Mas juga."
"Awww"
Naysa memegang jidatnya yang diketuk oleh jidat sang suami. Mulai kdrt, nih.
"Beda dong."
"Iya-iya ish nggak pakek antukin kepala juga kali, Mas. Sakit."
"Sini."
Detik berikutnya Naysa tersenyum mendapat kecupan hangat di jidatnya dari Gama. Makan dimasakin, bobok dipelukin, mandi ditemenin dan hidup ditemanin. Siapa sih yang menolak. Rasanya Naysa ingin teriak agar dunia tahu betapa ia bahagia menjadi istri Gama.
Part 36-37 ada di Karyakarsa ya kawan-kawan.
Link ada di bio Ummi.❤️❤️❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Sentuhan Cinta
RomanceGama itu ganteng, baik, pinter masak, dan kaya raya. Apalagi alasan Naysa untuk tidak jatuh cinta? Diam-diam Naysa tidak bisa menolak rasa nyaman yang ditawarkan oleh pelukan Gama. Ingin didekap terus untuk hari ini, esok, dan nanti.