Part 30

21.7K 1.3K 39
                                    

Di dalam kamar milik Gama, Naysa yang berhati cemas akan apa yang terjadi padanya tadi. Jika saja Gama tidak datang tepat waktu banyak kemungkinan yang akan terjadi. Mungkin Arfin akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan juga mungkin ia dan Arfin terjebak fitnah yang atau Gama akan salah faham yang nanti akan membuat rasa asam dalam hubungannya dengan Gama.  Setelah ini ia yakin jika dirinya tidak akan bisa bebas dari pertanyaan-pertanyaa Gama.

Ketukan pintu disusul suara Gama yang memanggil namanya membuat Naysa bangun dari kursi meja rias. Beberapa kali menghela nafas panjang. Mempersiapkan hati untuk bertemu sang suami. Naysa mendekati pintu untuk memutar kunci. Amanah dari Gama tidak ia amgguki semata melainkan ia patuhi dengan sangat.

Pintu terbuka.

Naysa berdiri menatap penuh hati-hati pada wajah Gama yang kian tenang. Banyak yang bilang jangan pandang remeh pada yang tenang. Tenang bisa saja menghanyutkan. Jujur, Naysa takut Gama seperti itu.

Namun, tangan Gama yang langsung menarik Naysa ke dalam pelukannya membuat Naysa menghela lega.

"Kalau kamu mau cerita apa pun itu kamu bisa cerita ke aku. Kalau tetap mau bungkus rapi masa lalu juga nggak papa. Aku nggak maksa," bisik Gama.

Pria itu semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh sang istri. Mengecup pundak Naysa juga mengusap punggung wanitanya dengan sayang.

"Aku nggak akan marah, mau kamu cerita atau nggak tentang masa lalu. Yang jelas sekarang kamu untuk aku dan aku untuk kamu. Orang lain yang hadir sebagai batu sandungan rumah tangga kita hanyalah kerikil biasa."

Detik itu juga air mata Naysa menitik. Inikah yang namanya bahagia dalam pernikahan? Perlakuan Gama padanya sungguh membuat Naysa nyaman. Tidak ada paksaan untuknya dari sang suami. Lantas apalagi yang mengharuskan Naysa tidak patuh? Sungguh Naysa adalah salah satu wanita beruntung di muka bumi ini.

"Kita duduk di sofa ya."

Tanpa menunggu jawaban dari Naysa. Gama mengangkat tubuh sang istri untuk didudukan di atas sofa tunggal kamar mereka. Alih-alih menegur Naysa untuk segera berhenti menangis, Gama malah menyandarkan kepala sang istri pada dadanya. Naysa bisa menangis sepuasnya di dalam dekapannya. Kadang wanita butuh ditemani dan tangisnya menjadi pereda nyeri di hati. Tugas suami, ya coba menyediakan tempat nyaman untuk sandaran sang istri.

"Ingusnya jangan lap dibaju aku dong Yang."

Naysa memukul dada Gama dan semakin mengeratkan pelukannya pada sang suami.

"Biarin. Yang nyuci juga aku," sahut Naysa dengan suara parau khas orang menangis.

Kalau sudah begini Gama bisa apa? Mencintai Naysa berarti harus mencintai segala hal tentang Naysa, tidak terkecuali ingusnya, kan?

"Habis ini Mas Gama mau dengerin cerita aku nggak?"

"Mau. Dengerin suara nangis kamu aja aku mau apalagi cerita kamu," balas Gama.

Naysa tersenyum dan mengusap air matanya. Lagi-lagi baju Gama yang menjadi korban sebagai sasaran untuk cairan dari hidung dan matanya.

"Mau cerita sekarang?" tanya Gama setelah melihat tangisan Naysa reda.

Mata sembab dan hidung merah Naysa membuat Gama tidak tega pada sang istri.

"Aku cerita besok-besok aja deh, Mas. Maaf ya..."

Gama meraih puncak kepala Naysa dan mengecupnya penuh kasih. Ia mengangguk pelan.
Naysa bukannya tidak mau cerita sekarang perihal masa lalunya dengan Arfin hanya saja sekarang ini Gama juga sedang sedih karena kehilangan ayah. Belum hilang duka itu di hati sang suami. Naysa hanya ingin hati Gama tenang dulu. Tidak mudah mengubur rasa sedih karena kehilangan seseorang yang amat berharga dalam hidup ini.

"Makasih suamiku sayang."

Gama meraih tangan Naysa dan menggenggamnya.
"Sama-sama cintaku."

Keduanya tersenyum lega.

"Aku harus ke kantor sebentar ni Sayang. Kamu mau ikut aku atau mau sama Afra aja?"

"Afra ikut Bunda tadi ke makam ayah, Mas. Ya udah aku siap-siap dulu ya. Nggak lama kok."

Padahal Gama juga perlu ganti baju karena kemeja yang tadi ia gunakan dijadikan lap ingus oleh istri cantiknya ini. Sebelum Naysa melangkah ke arah walk in closet, Gama lebih dulu mencekal lembut pergelangan tangan Naysa. Sengaja ia lirik bagian dadanya sebagai kode untuk sang istri.

Naysa yang mengerti pun mengangguk sembari menunjuk ibu jarinya tepat di depan wajah Gama.

"Aku siapin baju Mas dulu kala gitu. Atau mau ganti baju bareng?"

Naysa mengedip-ngedipkan matanya.

"Boleh."

"Eh. .. aku becanda tau Mas!"

"Alahhh ... biasanya juga mandi bareng," sahut Gama yang sudah lebih dulu ke walk in closet.

____

"Aku nggak nyangka deh Mbak, ternyata Gama itu licik."

Di dalam mobil menuju arah rumah Bunda Hani, adik iparnya ini membuka suara yang membuat dirinya dan semua yang ada di dalam mobil ini menatap kaget pada Tante Linda.

"Maksud kamu?"

Kevan ikut menoleh sedikit ke jok belakang. Zaki yang fokus menyetir pun mengerutkan dahi.

"Ternyata Gama merebut Naysa dari Arfin. Pasti Mbak Hani nggak tau, kan?"

Tante Linda memperbaiki letak kerudungnya dan tersenyum sinis entah untuk siapa. Setelah sarapan tadi pagi, Arfin menceritakan semua tentang Naysa yang dulu dan sampai sekarang ini masih menjadi gadis pujaan Arfin.

"Maksud kamu Naysa itu pacarnya Arfin?"

Tante Linda mengangguk mantap.

"Iya Mbak. Aku juga baru rau tadi dai Arfin kalau menantu kesayangan Mbak itu ternyata perempuan nggak bener. Seenaknya aja ninggalin Arfin dan berpaling ke Gama."

"Mungkin hubungan mereka sudah lama, Lin. Sudah menjadi masa lalu," sahut Bunda Hani.

Setahu Bunda Hani yang dulu melamar Naysa, menantunya itu memang tengah sendiri dan sahabatnya yang Ina, juga mengatakan demikian. Tidak mungkin juga Naysa tidak punya teman laki-laki.

"Arfin itu masih cinta sama Naysa di saat Naysa minta putus. Terus seenaknya terima lamaran Gama dan nikah, berharap bahagia sama sepupunya Arfin."

"Ya berarti Gama nggak merebut dong. Naysa dan Arfin udah nggak ada hubungan apa-apa kan di saat kami melamar Naysa?"

"Ya tapi tetap aja Gama itu tega. Harusnya dia jaga perasaan Arfin sebagai sepupunya. Arfin pacaran sama Naysa waktu Naysa masih kelas 2 SMP."

"Masih cinta monyet itu, Lin. Kalau Arfin sungguh-sungguh juga harusnya dia berusaha untuk melamar Naysa sebelum keduluan Gama. Mungkin juga Gama belum tahu kalau Naysa pernah pacaran sama Arfin."

Tante Linda mengangkat bahu tak acuh. 

Siapa di sini yang disalahkan? Gama? Naysa? Atau Arfin atau masalalu Arfin dan Naysa? Untuk sekarang dan seterusnya Bunda Hani hanya ingin yang terbaik untuk rumah tangga anak dan menantunya. Ia sangat yakin Naysa sudah mencintai Gama dan ia juga sempat mencari tahu tentang Naysa sebelum mereka pinang. Saat itu Naysa dekat dengan laki-laki bernama Lintang namun tanpa status.




Dalam Sentuhan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang