Part 15

31.8K 1.7K 16
                                    

Belum sampai kaki jenjang Naysa menaiki undakan tangga menuju lantai 2 rumah, indra penciumannya menerima bau sesuatu. Kembali ia sejajarkan tubuh dan memiringkan wajah.

"Tadi kata Pak Udin kalau Mas Gama pulang dari minimarket. Apa lagi di dapur ya?" gumamnya pelan.

Naysa menghela pelan dan dengan pasti melangkah menuju ruang tengah kemudian terhubung ke arah dapur. Jika pun tidak ada Game di sana maka Naysa ingin masak. Sepertinya ada beras dan telur. Setidaknya sebelum berangkat bekerja kantor nanti Gama bisa makan dulu.

"Mas Gama."

Punggung seseorang di depan meja kompor berhasil membuat langkah Naysa terhenti. Sesekali gadis itu mengucek matanya guna memastikan yang ia lihat itu benar Gama atau bukan pasalnya serius sekali pada apa yang sedang ia lakukan dan enggan menoleh padahal Naysa sangat yakin suara langkah kakinya terdengar ke telinga pria itu.

Pria itu memasak? Berarti benar tadi belanja dulu ke minimarket. Tengkuk yang tidak gatal miliknya Naysa garuk beberapa kali. Untuk apa Gama punya istri jika yang mengambil kendali di dapur juga pria itu. Sungguh Naysa tersindir ini karena telat bangun tidur.

Btw, dari belakang aja suaminya terlihat tampan. So sexy, dan Naysa tidak ingin ada mata wanita lain yang melihat Gama seperti ini.

"Mas."

Suara Naysa terdengar lirih dengan tangan yang ia lingkarkan di pinggang Gama. Menempelkan sebelah pipinya pada punggung sang suami. Gerakan tangan Gama yang sedang membolak balikkan ikan di penggorengan tidak terhenti sama sekali. Dengan bibir yang menyunggingkan senyum manis, pria itu memegang punggung tangan Naysa yang bertumpa di perutnya.

"Duduk dulu ya. Aku sudah gerak ini lho," ujar Gama yang langsung dijawab gelengan kepala oleh sang istri.

"Di mana-mana tuh seorang suami seneng banget dipeluk sama istrinya. Ini kok Mas malah kebalikannya. Buat kesel aja deh pagi-pagi."

Naysa melepaskan lingkaran tangannya dengan wajah merengut. Sedikit memperbaiki anak rambut yang hampir mengenai mata. Terdengar suara kompor dimatikan oleh Gama. Pria itu berbalik setelah memindahkan dua ikan goreng bumbu yang minta segera disantap. Jika saja Naysa tidak dalam mode ngambek mungkin ia segera mengajak Gama untuk menikmati makanan yang sudah Gama sajikan meski hanya ikan goreng bumbu saja.

"Sekarang kamu duduk dulu ya. Ngocehnya dilanjut nanti. Aku ambil siapin goreng ikan dulu."

Gama menyentuh dagu Naysa dan memberikan senyuman manisnya tapi tidak dibalas oleh sang istri. 

"Ada lagi? Kita kan cuma berdua Mas, ngapain masak ikannya banyak-banyak gini? Dua udah cukup lho," kata Naysa sambil melirik dua ikan di piring samping kompor.

Gama menghela dan sedetik kemudian menyambar bibir tipis Naysa dengan kecupan. Tidak ada lumatan, takut terbawa suasana dan akan memakan waktu juga.

"Ihhh suka banget sih cium-cium. Kalau aku belum sikat gigi gimana?"

Terkekeh pelan seraya mengusap rambut Naysa, Gama malah menarik pinggang sang istri untuk ia peluk sebentar.

"Ya udah kalau gitu sekarang kamu bantuin aku ambil piring dan kita sarapan ya. Sebentar lagi aku harus ke kantor ini."

Gama mengiring Naysa ke depan lemari piring. Lalu berbalik untuk mengambil ikan goreng untuk diletakkan ke meja makan. Sambil mengambil dua piring untuk dirinya dan Gama, Naysa tidak henti tersenyum lantaran bahagia. Bagaimana ia tidak bahagia mengingat perlakuan Gama yang romantis pagi ini. Dari 1000 kaum adam yang tersebar di dunia ini mungkin hanya bisa dihitung jari yang seperti Gama. Bangun tidur ke market dan masak. Kebanyakan pasangan masak merupakan peran seorang istri.

"Aku nggak nyangka kalau ternyata Mas Gama bisa masak dan ini enak banget lho. Sering-sering masak kayak gini ya Mas," ujar Naysa sembari menikmati ikan goreng bumbu ala Gama.

Ngapain Naysa malu meminta dimasakin lagi oleh Gama mengingat Gama pernah bilang jika apa pun yang Naysa inginkan jangan sungkan untuk diutarakan. Gama siap menjadi pendengar pertama untuknya.

Pria itu mengangguk dan geleng-geleng kepala melihat rambut Naysa yang sedikit-sedikit di selipkan ke daun telinga. Kadar kecantikan istrinya btwtap terlihat dengan keadaan Naysa seperti apapun tapi Gama yang risih melihatnya.

Gama bangun dari duduknya membuat Naysa mengernyitkan dahi tapi tetap melanjutkan makan. Lidahnya seakan tidak ingin berhenti menikmati masakan sang suami.

"Eh."

Naysa memegang tangan Gama yang mengumpulkan rambutnya dan mengikatnya dengan karet gelang yang tadi pria itu ambil di meja dekat kompor. Mungkin karet gelang bekas ikat sayuran atau lainnya. Tidak mengapa dan Naysa tidak peduli dari mana asal karet itu yang sekarang membuat jantungnya berdetak tidak karuan adalah perlakukan Gama. Suami seperhatian ini ada di mana jika tidak di belakangnya.

" Lain kali kalau makan rambutnya diikat ya tapi kalau makannya di rumah aja."

Spontan Naysa mengangguk. Jantungnya sedang tidak aman saat ini. Berdetak sesukanya dan Naysa tidak kuasa untuk meredam itu.

"Sekarang makan habis itu kita ganti baju dan berangkat ya."

_____

Naysa memoles wajahnya dengan bedak dan bibir ia berikan sedikit sentuhan lipstik. Meski hanya polesan tipis tapi lumayan memakan waktu. Gama sudah berhenti baju, lanjut merapikan selimut dan bantal di atas tempat tidur hingga menutup horden jendela kamar tapi Naysa belum juga selesai. Perempuan jika bertemu cermin makn ada saja yang terlihat kurang.

"Rambutnya udah disisir?"

Naysa menggeleng sebagai jawaban. Pria yang merupakan suaminya itu mendekat dan meraih sisir untuk merapikan rambut sang istri. Di pantulan cermin Naysa tidak segan menunjukkan senyum manis dengan wajah merona. Sepertinya pilihan orang tuanya akan teman hidupnya tidaklah salah. Diperlakulan bak ratu membuat sedikit sisi hati Naysa menjerit protes. Protes karena mengapa tadi ia lupa merapikan tempat tidur. Setelah rambutnya tertata rapi tanpa ada aksesoris apa pun Naysa bangun dari kursi meja rias. Meraih dasi Gama dan memasangnya dengan senyum yang tidak luntur sedikitnya pun.

"Makasih ya Mas. Maaf pagi ini banyak merepotkan Mas Gama," ujar Naysa terdengar lirih sambil menatap pada mata suaminya.

Gama mengelus pipi Naysa dan memperpendek jarak antara wajah mereka.

"Aku melakukannya dengan senang hati. Kalau haid memang selalu sakit perut?"

Tidak bisa dibohongi tadi malam Naysa merasakan nyeri akibat haid sampai gadis itu merintih kesakitan. Gama yang mengerti hanya bisa membantu membuatkan teh hangat dan Naysa baru bisa terlelap di atas jam 12 malam. Paginya Gama dan membangunkan Naysa untuk sholat subuh.

"Perut aku nggak sakit kok Mas. Cuma pinggangnya yang nyeri."

"Sekarang gimana? Kalau masih nyeri biar aku izinkan ke kampus untuk nggak usah masuk kelas hari ini."

Naysa menggeleng pelan dengan wajah dibuat seceria mungkin .

"Udah lebih baik kok. Tadi juga makan aku banyak, kan? Ini udah hari ke tiga jadi biasanya udah nggak terlalu sakit lagi," jawab Naysa menenangkan.

Gama mengecup kening Naysa dan memeluk istrinya itu.

"Aku nggak bisa jemput kamu, ya.  Bisa pulang sama Afra aja, nggak?"

Kerjaan Gama tidak sedikit di kantor. Tadi malam harusnya ia lanjut kerja setelah sholat isya, akibat cemburu dan berakhir saling lempar tuduhan dari chat di ponsel masing-masing Gama ikut Naysa untuk tidur.

"Bisa Mas."


Dalam Sentuhan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang