Part 16

28.6K 1.7K 11
                                    

Mobil milik Gama berhenti di depan kampus tempat Naysa menimba ilmu. Naysa sedikit heran mengapa Gama malah menatap kosong ke depan padahal mereka sudah sampai dan harusnya suaminya membuka kunci mobil agar Naysa bisa segera keluar.

"Kok kuncinya nggak dibuka, Mas?" tanya Naysa lembut.

Apa yang ditunggu? Setahu Naysa, suaminya tidak ada kepentingan di kampusnya selain kepentingan pribadi pada dirinya yang merupakan salah satu mahasiswa di kampus ini.
Jantung Naysa hampir copot dari tempatnya saat tangan kanannya diraih Gama, selalu seperti ini padahal ini kesekian kalinya Gama melakukan hal yang sama. Menyentuh, menggenggam bahkan mengecup jemari tangannya. Tetap saja Naysa berdesir. Apa ini yang namanya jatuh cinta? Seaneh ini perasaannya pada Gama.

"Aku nunggu sampai Afra datang aja ya. Chat kamu sama teman laki-laki yang aku baca tadi malam masih berlomba-lomba hadir di ingatan. Nggak kebayang pasti mereka berani deketin kamu kalau ketemu di kampus, kan?"

Gama seorang suami dan tidak ada kata salah berkata demikian. Ia berhak atas Naysa dan sikap yang ia tunjukkan ini sebagai bentuk protes akan sikap Naysa yang memang mudah merespon pendekatan dari lelaki yang datang. Alasan yang kata Naysa tidak ingin dibilang sombong atau nggak ada salahnya kan saling kenal dan berteman biasa saja. Naysa mungkin bisa mengatakan demikian tapi Gama tidak yakin jika lelaki-lelaki itu juga akan berpikiran yang sama.

"Kalau ada yang deketin di kampus itu artinya ada hal yang memang penting Mas."

"Urusan hati juga termasuk hal yang penting, lho. Lebih malah."

Sahutan dingin terujar begitu saja dari bibir Gama. Naysa menghela nafas dan mengelus punggung tangan Gama dengan ibu jarinya yang digenggam oleh pria itu. Memberikan senyuman manisnya yang ia harap bisa menghangatkan hati Gama.

"Aku tau batasan kok Mas. Aku juga udah rasakan kenyamanan bersama lelaki pilihan papa yang sekarang duduk di samping aku. Jadi alasan aku untuk respon mereka karena nyaman udah nggak ada lagi. Mas Gama katanya kita harus saling percaya dan saling jujur tapi kok Mas masih curiga sama aku?" gumam Naysa lirih.

Gama langsung menggeleng dan membawa Naysa ke dalam pelukannya. Berulang kali mengecup puncak kepala sang istri sebagai peredam emosi yang tidak menentu.

"Maaf Sayang... aku bukannya nggak percaya sama kamu tapi aku takut kalau pria-pria di kampus ini masih ada yang kayak Lintang."

Dahi Naysa mengernyit, sontak membebaskan diri dari pelukan Gama lantas menatap dalam pria itu.

"Mas kok tau Lintang?" tanyanya.

Gama sudah menduga Naysa akan mempertanyakan ini.

"Tau dari Afra ya?" tebak Naysa.

Mengapa ia berpikir begini, ya karena Gama dan Afra sepupuan yang kemungkinan besar saling curhat atau saling tukar info.

"Afra nggak ngomong apa-apa kan sama Mas?"

Gama menyatukan dahinya dengan Naysa. Menggesek hidungnya pada ujung hidung sang istri.

"Bukan Afra yang bilang dan kamu nggak usah tanya aku tau dari siapa. Yang kamu harus jaga sikap sama lelaki mana pun," kata Gama lembut.

Jauh sebelum membuka ribuan chat di ponsel cantik Naysa tadi malam. Gama sudah lebih dulu tahu tentang Lintang yang terus berusaha mendekati Naysa. Jangan ragukan Gama, matanya ada di mana-mana dan mengulik info tentang istri tercintanya ini di kampus tersayang wanitanya bukanlah hal susah baginya.

"Aku udah nolak Lintang kok. Mas jangan khawatir ya. Sekarang esok dan seterusnya aku akan usahakan cuma Mas Gama satu-satunya pria yang tersimpan di hati. Aku lagi usaha untuk mendekap cinta yang Mas beri. Bantuin aku ya Mas," ujar Naysa.

Karena Gama sudah berkali-kali mengakui secara lisan dan perbuatan akan cintanya pada Naysa. Hati gadis itu mulai terenyuh. Tidak ada ruginya jatuh cinta pada Gama yang penyayang, lebih dari kata baik untuk suaminya. Terlebih segala hal yang terjadi di pagi ini tidak akan pernah Naysa lupakan.

Naysa akan sangat rugi jika memikirkan atau berani merespon gombalan receh dari pria tanpa komintmen yang sering mengajaknya pacaran hingga nantinya memperrenggang hubungannya dengan Gama. Sungguh Naysa ingin menjadi istri yang baik. Ingin menjadi tempat Gama pulang. Ingin menjadi wanita yang Gama sayangi sepenuh hati.

"Jangan dipaksa ya. Aku cuma ingin kamu nggak terpaksa mencintai aku. Terima kasih sudah bersedia menjadi istri dan calon ibu dari anak-anakku. Aku nggak bisa janji apa-apa karena aku takut nggak bisa tunaikan janji itu."

Di saat yang sama mungkin ratusan bahkan ribuan pria berani mengucapkan dengan berulang janji pada kekasihnya tapi tidak dengan Gama. Pria itu justru tidak ingin mempermainkan kata janji demi meluluhkan hati sang pujaan. Ijab yang terucap dari bibirnya sudah lebih dari sekedar janji pada manusia. Di saat itu Gama bukan hanya menghadap orang tua Naysa tapi juga Allah, saksi yang sesungguhnya. Saksi yang tidak ada sesat sedikitpun.

"Sama-sama Mas."

Deringan ponsel di saku rok yang Naysa gunakan membuat pasangan ini sedikit terlonjak kaget sebelum terkekeh bersama.

"Ini Afra telpon. Kayaknya udah sampai deh."

Kebiasaan Naysa dan Afra akan saling calling by phone jika sudah sampai di area kampus.

"Ya udah sini cium dulu."

Meski langsung merona, Naysa tetap mencondongkan wajahnya untuk mendapat kecupan hangat dari sang suami. Keduanya saling memejamkan mata saat bibir Gama menyentuh kening Naysa penuh kehangatan. Sebelum membuka pintu dan mengucapkan salam Naysa memberikan senyuman pada kekasih hatinya.

Ini kalau banyak typo tolong ditandai ya. Biar ummi revisi

❤️❤️❤️

Dalam Sentuhan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang