Four: Ersha

0 1 0
                                    

Tanpa ketukan, pintu kamar Zara terbuka. Pergerakan mata dari kanan ke kiri berhenti, berganti menuju pintu.

Helaan napas terdengar. Zara mengeratkan pensil yang ia genggam.

Abraham.

Laki-laki paruh baya itu berjalan mendekat. Tangannya membuka buku yang berjejer rapi di atas meja belajar Zara.

Zara menelan ludah. Tahu apa yang ayahnya cari. Sialnya belum ia simpan.

Enam lembar kertas terkumpul dengan nilai tertulis di pojok kanan berhasil Abraham temukan. Matanya mulai meneliti lembaran kertas itu.

Zara menghirup napas pelan. Berusaha menghilangkan rasa gugupnya yang sebenarnya ia tahu tak ada gunanya. Tangannya tetap saja mengeluarkan keringan dingin.

Abraham menatap wajah anaknya. Melempar kertas ulangan harian Zara tepat ke wajah Zara.

Zara sontak memejamkan matanya. Tidak berusaha menghindar.

Abraham memijit pelipisnya. "Ada masalah apa kamu?"

Zara menggeleng pelan. "Enggak ada, Pa."

"Nilai kamu turun pasti ada alasannya! Kenapa?!"

Zara tersentak. Ia menggeleng. Lagi.

Helaan napas Abraham terdengar. "Minggu besok nilai kamu harus naik. Papa ngga mau tahu."

Zara mengangguk pelan.

Lalu langkah kaki Abraham terdengar. Hingga laki-laki itu menghilang setelah menutup keras pintu kamar Zara.

Zara menghela napas. Berjongkok mengambil kertas ulangannya yang tergeletak di lantai.

Matematika. Sembilan puluh. Ranking tiga dari tigapuluh enam siswa.

Zara duduk menyila. Menyenderkan punggungnya.

Bahkan ia tidak tahu kapan ayahnya pulang. Ia juga tak tahu kapan ayahnya pergi lagi. Tapi kalau bisa meminta, ia tak ingin Abraham terlalu lama di rumah.

Zara mengangguk pasti. "Nggak papa Zara. Nggak papa."

Walau hatinya menolak setuju dengan ucapan Zara tadi.

Zara mendesis kala perutnya tiba-tiba nyeri. Ia melirik jam weker di atas meja.

Pantas saja. Sudah jam sembilan malam dan ia belum memasukkan makanan apapun ke perutnya.

Ia berdiri. Iya. Setidaknya perutnya harus terisi. Setelah mengisi perut ia akan belajar. Lagi.

Keluar kamar, berniat mencari sesuatu yang bisa dimakan. Paling mi instan, apalagi? Zara bukan perempuan yang pintar memasak. Ditambah memasak mi tidak ribet. Tinggal direbus lalu tambahkan bumbu.

"Kamu suka?"

Zara menoleh. Samar-samar ia mendengar suara ayahnya. Tapi di mana?

Zara melangkahkan kakinya ke ruang tengah. Sepertinya dari sana.

Langkah kakinya terhenti. Benar. Ayahnya di ruang tengah bersama Naura.

"Papa beliin laptop? Padahal laptop yang dulu masih bisa dipake."

Kini suara Naura yang terdengar. Terlihat jelas wajah kakaknya itu berseri-seri.

"Tapi laptop yang dulu baterainya cepat habis, 'kan?"

Zara memutuskan menutup telinganya. Berlari kembali ke kamar.

"Bego. Jangan kepo jadi orang, Ra."

Zara mengatakan itu pada dirinya sendiri. Ia harusnya langsung ke dapur tanpa mencari tahu apa yang Abraham lakukan. Bahkan ia sudah lupa apa tujuannya keluar kamar.

Sedikit Kisah dari ZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang