Fifteen: The Day

0 1 0
                                    

Disela mengemudi, Liam melirik Zara yang duduk di kursi sebelah. Sejak masuk mobil perempuan itu diam saja.

Pandangannya ke luar bertingkah melihat jalan yang dilewati. Walaupun begitu sebenarnya Liam tahu. Zara kosong. Zara banyak pikiran. Dan opini yang Liam harap tidak benar adanya adalah Zara seperti itu karena laki-laki bernama Ervin.

Liam tahu semuanya tentang Zara. Tapi Liam tidak tahu apa-apa tentang Zara jika menyangkut Ervin. Liam sama sekali tidak tahu ada apa dengan keduanya.

"Ra."

Mendengar panggilan itu, Zara menoleh. Mengernyit seolah bertanya ada apa.

Liam melirik dashboard mobilnya. "Buka dashboardnya," ucapnya.

Zara mengernyit heran. Namun tangannya tetap menurut membuka dashboard. Matanya melebar melihat bekal transparan di sana. "Lo bawa bekal?"

Liam menggeleng. "Bukan. Cuma bawa cemilan buat ganjel perut," jawabnya.

Zara membuka kotak bekal itu. Matanya meredup melihat bekal yang Liam bawa. Roti isi.

"Dimakan," ucap Liam tanpa menghadap Zara. Liam membuat roti isi itu sendiri. Berharap Zara suka sama seperti saat ia membuat ayam pedas manis dulu. 

Zara berdeham. "Iya," balasnya singkat. Matanya masih memperhatikan roti isi dari Liam. Mendengus pelan. Makanan yang paling sering ia buat untuk Ervin.

Zara sudah hapal dengan rasanya.

Meski begitu, ia tetap mengambil roti isi itu. Sepulang sekolah ia belum makan apa-apa. Roti isi ini juga tidak bisa disalahkan untuk semuanya. Apalagi Liam yang membuat.

Membuka mulut menggigit rotinya sedikit.

"Gimana?"

Pertanyaan itu membuat Zara menoleh. Ia lalu mengangguk. "Enak, Li. Lo mau?" tanyanya menyodorkan roti isi di tangannya ke depan mulut Liam.

Liam membuka mulutnya. Menggigit roti yang Zara sodorkan. Mulai mengunyah. "Lo sebenernya nggak suka, ya?"

Zara mengernyit. "Maksud lo?"

Liam menghadap Zara sebentar. "Itu, lo pelan banget ngunyahnya. Dari tadi ngga ditelen-telen," ucapnya.

Zara sontak menggeleng. "Enggak. Kata siapa gue nggak suka. Gue itu lagi nikmatin rotinya, makanya ngunyahnya pelan," ucapnya.

"Bohong."

Zara menggeleng. "Enggak."

"Udahlah, jangan dipaksa," ucap Liam.

Zara menjadi merasa bersalah. "Ih, dibilang gue suka, juga," ucapnya menggigit rotinya lagi.

Liam menoleh sebentar. Ia lalu tersenyum kecil. "Habisin. Gue tahu lo pasti belum makan apa-apa sepulang sekolah," ucapnya.

Zara mengangguk pelan. "Ya itu gara-gara lo."

Liam mengernyit. "Apaan? Kok gue?" tanyanya.

Zara mengangguk. "Iyalah. Gue baru aja rebahan. Tiba-tiba lo telfon udah di depan rumah. Mana ternyata parkir di depan rumah tetangga lagi," ucapnya heran.

"Ya kan gue jaga-jaga siapa tahu ada bokap lo. Kalo ketemu lagi ntar malah nggak jadi pergi," balas Liam.

Zara menggeleng. "Ya gue tahu, tapi lo parkirnya kejauhan kali."

Liam akhirnya mengangguk. "Iya deh. Gue ngalah."

Zara menyunggingkan senyumnya. "Dari tadi, dong." Ia lalu kembali menggigit roti isinya.

Sedikit Kisah dari ZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang