"Kenapa ... Anda ada di rumah saya?!"
"Pa. Jangan marah dulu, Pa." Naura menahan tangan ayahnya.
Abraham menoleh pada Naura sebentar. Ia melepas tangan anaknya itu. "Naura ...," ucap Abraham dengan pelan. Berbeda sekali dengan bentakan beberapa menit lalu. Ia mengelus lengan Naura. "Ini urusan Papa. Kamu diem dulu, ya," lanjutnya. Masih dengan nada pelan.
Setelah mengatakan itu, Abraham tak menunggu balasan Naura sampai ia kembali menatap perempuan paruh baya yang masih saja diam.
"Anda doktrin anak saya?" Abraham tidak mendekat. Masih di tempat yang sama. Menatap Citra tajam.
Ucapan yang lebih patut disebut tuduhan.
Pelan Citra menggeleng. Sudah lama. Lama sekali sejak ia berhadapan dengan mantan suaminya.
"Keluar Anda," usir Abraham. Ia beralih menatap laki-laki yang duduk di samping mantan istrinya; Liam. "Kamu juga."
Zara menggeleng. Ini tidak benar. Ini tidak benar.
"KELUAR!"
"PA!"
Zara bersuara. Sama-sama dengan suara tinggi.
Abraham sontak menatap Zara. "Kamu berani sama Papa?!"
Zara maju satu langkah. Langkah yang membuat semua orang di sana was-was dengan apa yang akan Zara lakukan.
Meski tangan yang bergetar, Zara memberanikan diri mendekati ayahnya. Ayahnya harus tahu apa yang sedang terjadi, tanpa harus naik pitam dahulu. Papa harus tahu, kalau anaknya juga butuh seorang ibu. "Ini udah ke tiga kalinya Mama ke sini."
Abraham sontak memutar bola matanya tak habis pikir mendengar itu. "DAN KAMU NGGAK PERNAH BILANG SAMA PAPA?!"
"ZARA BUTUH MAMA, PA!" Zara ikut meledak.
"Zara ...," Citra menahan tangan anaknya. "Jaga etika kamu, Nak. Dia ayahmu," lanjutnya.
Zara menggeleng. "Ma, Zara nggak bisa lihat Mama diusir-usir kaya gini. Zara nggak bisa lihat Mama dibentak-bentak sama Papa," ucapnya.
Citra menggeleng. "Enggak apa-apa. Mama juga niatnya mau pulang, kok," ucapnya.
Abraham mengepalkan tangannya. "Pulang sana. Jangan pernah ke sini lagi."
"Papa!"
"Zara!"
"Pa! Zara sama Mba Naura butuh Mama. Apalagi Papa terlalu sibuk sama kerja, kerja dan kerja."
Citra menggeleng. "Ra, udah. Mama pulang," ucapnya.
Zara menggeleng. "Enggak, Ma. Zara nggak bisa--"
"Zara ...," Naura memberi jeda. Selanjutnya ia mengangguk pelan. "Biarin Mama pulang dulu," lanjutnya.
Zara mengernyit. "Tapi Mba, Zara masih mau sama--"
"Raa ...." Kini Liam yang bersuara. "Jangan childish," ucapnya pelan.
Zara menganga. Ia menggeleng tak percaya dengan ucapan orang-orang. Dirinya benar kok. Seorang anak yang butuh ibunya. Itu hal yang wajar, bukan?
"Mama sama Liam pulang dulu. Kamu istirahat ya, Ra, Nau," ucap Citra bergantian melihat kedua anaknya.
Zara menggeleng. "Tapi, Ma--"
"Iya, Ma. Pasti." Ucapan Zara terpotong dengan Naura yang tiba-tiba bersuara. Bedanya, ucapan keduanya tak sama.
Citra tersenyum tipis. Ia lalu menghadap Liam. "Ayo, Liam," ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sedikit Kisah dari ZEL
Teen FictionKarena bersama belum tentu menjadi miliknya. Perempuan bernama Zara Anindira, mau tak mau harus menghadapi takdirnya. Dari kepindahannya ke SMK Bhayangkara sampai akhirnya Zara bertemu Ervin. Untuk yang kedua kalinya, Zara mencoba mendekati laki...