Zara menatap hampa kertas ulangan harian matematika di tangannya.
"Lo berapa, Ra?"
Zara menoleh. "Delapan puluh lima, Dev," balasnya.
Lebih rendah dari nilai ulangan kemarin.
Devi melebarkan matanya. "Wah. Nilai lo kok bisa segitu sih, Ra? Gue masa dapat tujuhpuluh," ucap Devi.
Zara melihat kertas ulangannya lagi. Benar. Dirinya masih masuk lima besar nilai teratas.
Ia menggeleng pelan. Menyimpan kertas itu. Beralih mengambil ponselnya.
...
Zara melempar tasnya sampai mendarat di sofa ruang tengah. Ia duduk menyender di sofa itu.
"Kenapa kamu?"
Zara menoleh. Kakaknya datang bersama mug di tangan. Duduk di depan Zara.
"Matematika dapat delapan puluh lima, Mba," jawab Zara lesu.
Naura meletakkan mug berisi cokla hangat ke atas meja. Ia beralih membuka laptopnya. "Bagus dong dapat segitu," komentarnya.
Zara melirik Naura. Kakaknya itu terlihat sibuk menekan keyboard laptop entah mengerjakan apa.
Delapanpuluh lima bagus untuk semuanya. Tapi tidak dengan ayah.
Tentu saja Naura tidak tahu apa yang saat ini Zara khawatirkan. Naura tidak tahu Zara sedang menyiapkan mental untuk menghadapi bentakan Abraham.
Ternyata cara Zara berlama-lama di sekolah tidak berguna. Nyatanya sampai sekarang dirinya masih gugup.
Zara berdiri. "Zara ke kamar dulu, Mba."
"Iya," balas Naura tanpa menoleh.
Zara mengambil tasnya. Berjalan pelan menuju kamarnya. Harapannya hanya satu. Semoga ayahnya tidak pulang hari ini. Semoga ayahnya punya banyak pekerjaan sampai tidak bisa pulang.
...
Zara menyingkap selimutnya. Napasnya memburu. Sudah tiga puluh menit ia tiduran di kasur. Memejamkan mata mencoba menyelami alam mimpi. Tapi sampai sekarang tidak kunjung bisa. Yang ada Zara hanya kesusahan bernapas karena semua tubuhnya tertutup selimut.
Zara memposisikan tubuhnya duduk. Ia melirik jam weker di atas meja. Jam sepuluh malam.
"Enggak. Enggak bisa."
Zara berdiri. Keluar kamar menuju dapur. Mencari apapun yang dapat membuat perutnya bahagia.
Benar sekali. Zara perempuan yang menjaga pola makannya itu belum makan apapun sejak pulang sekolah. Seingatnya yang terakhir ia makan itu dua potong sandwich yang dibeli di kantin tadi siang. Sementara sekarang sudah jam sepuluh malam.
Zara bukan tidak mau makan. Ia hanya tidak mau keluar kamar takut berpapasan dengan Abraham. Namun karena cacing-cacing diperutnya sudah berteriak meminta makan, kini Zara menjadi terserah kalaupun bertemu Abraham. Toh sampai ia berdiri di dapur ia sama sekali tak melihat ayahnya.
Zara menarik gagang kulkas. Matanya menyapu dari atas ke bawah. Menghela napas tak melihat makanan siap makan.
Zara beralih membuka lemari. Jawabannya sudah pasti mi instan.
Mengambil panci kecil, mengisinya dengan air. Sementara menunggu airnya mendidih, Zara membuka kemasan anggur hijau. Mengambil satu butir lalu melahapnya.
Zara suka mi. Ditambah ia menambah populasi perempuan tidak bisa memasak. Jadilah ia menyetok banyak makanan instan seperti mi, sosis, atau bahkan sekedar roti tawar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sedikit Kisah dari ZEL
Fiksi RemajaKarena bersama belum tentu menjadi miliknya. Perempuan bernama Zara Anindira, mau tak mau harus menghadapi takdirnya. Dari kepindahannya ke SMK Bhayangkara sampai akhirnya Zara bertemu Ervin. Untuk yang kedua kalinya, Zara mencoba mendekati laki...