Twenty Seven: Headache

0 1 0
                                    

Zara merasa bersalah. Merasa menjadi orang paling jahat, telah merusak kepercayaan Liam dengan berdua bersama Ervin seperti ini.

Juga, kalau diingat kembali Zara masih marah kepada Ervin. Masih mempunyai 'misi' untuk menjauh dari Ervin. Menjauh, seperti yang Ervin mau. Tapi, situasi yang Zara rasakan ini sangat bertolak belakang dengan semua itu.

Zara membantu Ervin masuk ke mobil cowok itu. PKL untuk hari ini sudah berakhir. Waktunya pulang.

Zara memerintah agar Ervin naik taksi saja, sebenarnya. Namun, Ervin tetaplah Ervin. Si keras kepala. Tetap keukeuh mengendarai mobil sebagai transportasi pulang.

Yang bahkan Ervin masih Zara papah sampai parkiran ini.

Menunduk, Zara mengintip Ervin dari jendela mobil. "Beneran bisa, lo?" tanyanya. Zara masih ragu meski wajah Ervin terlihat lebih bugar dari sebelumnya. Setelah selesai menerima telepon dari Liam, Zara hanya mendapati Ervin yang tidur.

Ervin mengangguk kecil. "Hm. Bisa."

Meski ragu Zara akhirnya mengangguk. "Yaudah. Gue duluan," ucapnya pamit mengingat Liam sebentar lagi pasti sampai.

Ervin mengangguk lagi. "Iya. Thanks for today."

Zara mengangguk. Ia lalu melangkahkan kaki, menjauhi mobil Ervin.

Meninggalkan Ervin, yang tidak juga menginjak pedal gas. Ervin terlebih dahulu memperhatikan ke mana langkah kaki Zara.

Meski sebenarnya tahu, ke mana tujuan Zara. Yang akhirnya akan membuat Ervin sakit kembali.

Namun, Ervin tetap memilih mengambil pilihan itu.

Ervin memilih melihat apa yang terjadi, ke mana langkah Zara tertuju. Memilih tinggal sedikit lama untuk melihat dengan siapa Zara pulang.

Meski sebenarnya tahu ke mana akhir dari langkah Zara.

Mendengus, melihat Zara berhenti pada mobil yang terparkir tak jauh dari mobilnya parkir. Hanya berjarak 10 meter.

Enggan melihat lebih lama, Ervin akhirnya menginjak pedal gas. Pergi.

Sementara itu di sisi lain Zara menunduk mengintip ke dalam mobil Liam. Membuatnya bisa melihat Liam dengan jelas. Tersenyum dan melambaikan tangan. Setelahnya ia menarik pintu mobil Liam, masuk.

Pertama memakai seatbelt sebelum terlupa. Zara lalu menoleh pada Liam. "Gimana hari ini? Lancar?"

Liam mengangguk kecil. "Iya."

Zara membeo. Ia lalu membuka tas kecilnya. Mengambil kotak kecil berisi empat makaron. "Nih, tadi ada ini di kantin. Gue keinget aja sama lo," ucapnya menyodorkan makaron yang ia beli.

Liam melirik makaron itu. "Karena keinget gue? Bukan karena alasan yang lain?" Liam tak menerima makaron yang Zara berikan.

Zara mengernyit tak paham. "Maksud lo?"

Liam menghela napas. "Ra, lo minta gue buat percaya sama lo, 'kan?"

Zara menunduk. Menghirup napas, sepertinya ia tahu ke mana arah pembicaraan Liam. "Lo ... liat gue sama Ervin tadi?" tanyanya lalu mendongak.

"Lo ngerasa bersalah ke gue makanya beliin gue gituan?" tanya Liam melirik makaron yang masih di tangan Zara.

Zara menggeleng. "Enggak, Li, gue beneran keinget sama lo. Bukan karena yang lain," ucapnya.

"Ra, gue cuma mau kita saling jujur. Nggak lebih."

Zara berdecak. "Ck. Li, sumpah gue nggak ada niat lain. Gue emang beli makaron ini karena inget sama lo. Bukan karena hal lain, dan meski gue nggak tahu apa lo suka atau enggak sama makaron," jelasnya panjang.

Sedikit Kisah dari ZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang