Twenty Two: Ayam Pedas Manis, dari Orang Manis

0 1 0
                                    

Langkah kaki Zara pelan.

Tak seperti yang sebelumnya selalu dijemput Liam, kini Zara sendiri. Melangkahkan kaki menuju halte bus, yang akan kembali menjadi kendaraan pulang-perginya.

Zara belum sarapan. Tadi pagi Zara bangun kesiangan. Insomnia penyebabnya. Zara hanya bisa tidur tiga jam saja tadi malam. Tak kunjung menutup mata walaupun jarum sudah menunjukkan angka satu dini hari.

Zara mulai terbiasa.

Eh ... Apa-apa?

Sebenarnya bohong. Zara hanya memaksakan diri agar terbiasa. Karena ia yakin, seterusnya pasti insomnianya semakin menjadi.

Karena bahkan kini ia tak punya siapa-siapa lagi.

Secara harfiah ada. Banyak, malah. Namun, dari sekian banyak itu sampai saat kini tak ada yang benar-benar mengerti dirinya.

Zara kira Liam iya.

Tapi nyatanya, lelaki itu memutuskan harapan dengan pengakuan tiba-tiba. Pengakuan yang hanya memperburuk keadaan. Zara benci itu.

Zara menendang batu kecil yang menghalangi jalannya. Menghela napas.

Zara ragu.

Liam orang baik. Zara sangat tahu itu. Lebih dari yang ia kira.

Karena bahkan Liam menawarkan diri mengikuti taksi yang Zara tumpangi. Artinya Liam bertanggung jawab pada Zara. Liam menemani Zara sampai Zara sampai di rumah. Sampai Zara masuk rumah.

Dan dengan tak tahu dirinya, Zara sampai mengintip dari jendela apa Liam masih ada. Dan Liam memang masih ada. Sampai akhirnya Zara menghiraukan dan memilih masuk.

Zara tahu sebenarnya Liam sama bingungnya. Mungkin lebih bingung dari Zara. Karena Zara tebak, Liam sebelumnya pasti sudah memikirkan yang ia lakukan. Yang Zara yakin, pasti sudah berkali-kali Liam memikirkan.

Namun, Zara tak tahu pasti apa Liam mengetahui akhirnya seperti ini.

Zara memutar matanya pelan. Selanjutnya terkejut kaget melihat bus yang sudah berhenti di halte. Zara sampai tidak mengetahui kapan bus itu berhenti.

Zara memutuskan lari. Lari, setelah matanya menangkap semua penumpang sudah masuk dan bus sudah akan berangkat lagi.

"PAK, TUNGGU PAK!"

Zara melambaikan tangannya, berharap sang supir melihat dan menghentikan busnya.

Zara sempat putus asa. Langkah kakinya memelan sudah mencoba mengejar tak ada hasilnya.

Namun, di saat itu, bus berhenti.

Zara kembali berlari. Buru-buru masuk bus, dengan napas yang memburu. "Makasih, Pak," ucapnya, berterima kasih mau berhenti.

Setelahnya Zara mengedarkan pandangan mencari bangku kosong.

Matanya terfokus pada bangku bus paling belakang. Dengan napas yang masih memburu, melangkahkan kaki ke kursi belakang.

Namun belum sampai tiga langkah, kaki Zara berhenti.

Terpaku melihat seseorang yang duduk di kursi belakang. Memakai jaket hitam, dengan earphone yang terpasang di telinga.

Napas Zara rasanya berhenti melihat Liam yang duduk di sana. Apalagi Liam juga mengetahui keberadaan Zara, sampai tak sadar menatap Zara.

Zara menghela napas dalam. Ia lalu berbalik. "Pak! Saya turun di sini," ucapnya sebelum sang supir melajukan bus.

"Di sini, Mbak? Mbak sampai lari-lari biar bisa naik, sekarang busnya belum jalan udah mau turun?"

Zara tersadar. Ternyata iya. Lariannya sia-sia sekarang. Tapi tak apa. Itu lebih baik dari pada harus bertemu Liam. "Nggak apa-apa, Pak. Maaf ya, Pak," ucap Zara penuh penyesalan. Merasa bersalah pada sang supir.

Sedikit Kisah dari ZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang