Eleven: Something Wrong

0 1 0
                                    

Zara melepas sepatu. Meletakkannya di rak dekat pintu. Ia memoleh ke belakang pada Liam yang diam memperhatikan rumah. "Ngapain lo? Ayo masuk."

Liam menahan tangan Zara. "Eh, Ra."

Langkah kaki Zara terhenti. "Kenapa sih? Aneh banget lo. Kaya nggak pernah ke rumah gue aja," tanyanya.

"Ya kan dulu gue ke rumah lo diem-diem. Gue nggak pernah masuk rumah lo. Pas gue ajak lo jalan juga gue nunggu di luar," jelas Liam.

Zara menghela napas. Ia menarik tangan Liam. "Ayo, rumah gue nggak angker kok, tenang aja," ucapnya.

"Bokap lo, ada? Mba Naura?" tanya Liam.

Zara menggidikkan bahunya. "Bokap ngga tahu pulangnya kapan. Kalau Mba Naura kayaknya sih udah pulang. Tadi pagi bilang pulang cepat," jelasnya. Ia melempar tasnya ke sofa.

Dalam hati Liam merasa lega. Walaupun ia pernah bertemu kakaknya Zara, namun ia hanya punya 'kenangan buruk' dengan Naura. Membuat adiknya Naura --Zara hampir ada apa-apa dengan membuat Zara naik motor.

Kalau ayahnya Zara belum pernah. Tapi kalau Zara saja bisa 'mogok makan' hanya karena tidak mau berpapasan dengan ayahnya, bisa diperkirakan ayah Zara menakutkan.

"Lo duduk aja di sini. Gue ambil minum sebentar."

Ucapan Zara membuat pikiran aneh Liam terhenti.

"Iya," balas Liam.

Zara mendengus heran. "Singkat banget balasannya. Kenapa lo? Grogi masuk rumah gue?"

Liam berdecak. "Kan gue nggak pernah masuk rumah lo. Kalau ketemu Mba Naura gue mesti gimana coba?"

"Maksud lo gimana?" Zara melangkahkan kaki ke dapur.

Liam membuntuti Zara. Tak menurut dengan ucapan Zara yang memerintah duduk di ruang tamu.

"Gue punya image jelek di mata kakak lo. Nggak inget, lo?" tanya Liam memutar kembali saat ia mengajak Zara pergi namun dengan motor. Yang tanpa sepengetahuan Liam, Zara sangat-sangat tidak bisa berinteraksi dengan kendaraan roda dua itu.

Zara terkekeh. "Ya waktu itu salah lo, lah. Kenapa waktu itu lo bawa motor," ucapnya sembari menuangkan sirup apel ke gelas. Setelahnya ia menuangkan air.

"Ck. Lo nyalahin gue kan."

Zara menggeleng. "Kata siapa." Ia membawa nampan berisi dua gelas sirup berperisa apel dan dua mangkuk bening yang masing-masing berisi popcorn dan kacang telur pedas ke meja ruang tamu.

"Terus?" Lagi, Liam mengikuti.

Zara duduk. Liam juga.

"Gue malah bersyukur bisa kenal sama lo." Zara memberi jeda. "Selama ini siapa coba yang bantuin gue pas gue tiba-tiba sesak napas? Yang nenangin gue, yang bawa gue ke pantai, yang selalu naik bus bareng gue," lanjutnya.

"Wah, jadi selama ini Liam yang jagain adik aku di sekolah?"

Suara itu mengalihkan perhatian keduanya.

"Mba Naura?" Zara mengernyit.

Naura tersenyum tipis. Ia menghadap Liam. "Kamu orang baik ternyata." Ia mendekati Liam. "Kalau gitu aku titip Zara selama dia di sekolah, ya? Lapor aja kalau Zara ada apa-apa," lanjutnya.

Liam terpaku. Tak berselang waktu lama ia lalu mengangguk. "Iya, Mba. Pasti."

"Apaan sih, Mba, emangnya aku anak kecil dititipin segala," ucap Zara protes.

"Mba nggak niat apa-apa, Ra. Cuma mau kamu aman dan baik-baik aja," balas Naura.

Zara mengerucutkan bibirnya. Ia menoleh ke Liam. Gerakan itu membuat matanya dan mata Liam bertemu. Mata kiri Liam yang tiba-tiba berkedip membuat Zara buru-buru mengalihkan pandangannya.

Sedikit Kisah dari ZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang