Fourthy One: Rumor Tiba-Tiba

0 0 0
                                    

Empat bulan berlalu.

Empat bulan yang panjang.

Empat bulan yang terasa kosong meski banyak orang di sekeliling Zara.

Zara menjalani sisa PKLnya sampai semuanya selesai. Sampai Zara mendapat sertifikat, sampai Zara mempresentasikan hasil PKL tanpa rekannya; Ervin, tentu saja.

Lalu, tiga minggu menjadi hari libur pasca PKL. Menjadi hari istirahat, menjadi hari senggang yang malah membuat Zara merasa semakin kosong. Merasa semakin sendiri.

Karena tiga minggu itu ia menjadi tak ada kesibukan, dan teringat pada hal-hal yang selama ini berusaha ia lupakan sejenak.

Benar-benar ingin istirahat.

Tapi ... ya sudahlah.

Toh tiga minggu itu sudah terlewati, dan Zara kini mulai menjalani semester genap.

Kembali memakai bus sebagai kendaraan pulang-perginya. Kembali berpusing ria dengan pelajaran kejuruan. Mulai masuk ke perpustakaan, menjadi tempat tujuannya setiap jam kosong. Zara suka tempat itu. Wanginya, sunyinya, dan tenang saat duduk di sana.

Dan sampai empat bulan itu, Zara tak tahu satu hal pun tentang Ervin. Keadaan Ervin, apa yang cowok itu lakukan, apa yang cowok itu hadapi.

Zara tak pernah mencoba menghubungi Ervin. Sama seperti permintaan cowok itu, agar tidak mengirim pesan atau apa. Selalu menahan diri agar tak mencari nomor Ervin.

Cowok itu juga sama sekali tak menghubunginya. Satu kali pun.

Dan Zara masih menurut.

Menunggu Ervin sampai cowok itu menghubunginya terlebih dulu.

"Mikirin apa sih kamu, Ra?"

Zara terkesiap. Ia lalu menggeleng pelan. "Bukan apa-apa kok, Mba."

Zara memutar paper cup berisi vanilla latte di tangannya. Sebelum berangkat, kakaknya memberi minuman hangat itu.

Hari ini berbeda.

Naura ada kuliah pagi membuat Zara berangkat dengan kakaknya. Mampir ke coffe shop, membeli dua vanilla latte dan croffle untuk mengganjal perut. Tadi pagi ia tidak terlambat bangun. Tidak buru-buru.

Hanya saja, kulkas kosong. Ia belum sempat membeli bahan makanan.

Helaan napas dalam membuat Zara melirik kakaknya. Kakaknya itu terlihat menggeleng.

"Kamu tuh, apa-apa jangan di rahasiain deh." Naura lalu melirik spion mobil sebelum berbelok ke arah parkiran Bhayangkara. "Cerita kek, sama Mba," lanjutnya.

Zara memejamkan matanya sejenak. Benar. Harusnya seperti itu.

Tetapi, rasanya begitu berat melakukannya. Empat bulan berusaha tanpa Ervin akan sia-sia kalau ia menceritakan semuanya.

Bercerita pada kakaknya sama saja mengingat semuanya.

"Ra ...,"

Zara menoleh pada kakaknya. Ia lalu menggeleng. "Kalau Zara rasa harus cerita, Zara pasti cerita sama Mba kok, semuanya."

Naura menghela napas. Namun, akhirnya ia mengangguk. "Yaudah, terserah kamu."

Zara tersenyum tipis. Ia lalu melepas seatbelt. Mobil kakaknya sudah berhenti di parkiran Bhayangkara. "Makasih, Mba," ucapnya.

Naura menggeleng. "Nggak perlu lah, ngomong gitu." Tangannya terangkat mengelus lengan adiknya. "Yang penting, kamu jangan pernah ngerasa sendiri. Tahu, 'kan? Ada Mama, Papa, Mba, Liam, semuanya."

Sedikit Kisah dari ZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang