Twenty Nine: Some Corndog

0 1 0
                                    

Parkiran kini sepi. Hanya motor sport Ervin yang masih terparkir di sana. Satu-satunya.

Matahari sudah turun. Hampir menghilang, hanya dalam hitungan menit. Langit sudah berubah.

Gradasi biru dan oranye tak bisa membuat mata Zara teralihkan. Masih tetap mendongak, menatap langit yang ia tahu ini hampir yang ke dua jamnya masih di posisi sama.

Sejak dua jam lalu Zara hanya memandangi langit. Tanpa suara, tanpa menoleh.

Tangisnya sudah terhenti dua jam lalu. Dengan di akhiri tiga tegukan air mineral, yang sisa isinya masih di sebelah Zara.

Ervin yang membeli. Seketika, setelah tangis Zara berhenti.

Menoleh, Zara akhirnya memutus tatapannya pada langit. Beralih pada Ervin, yang sejak dua jam lalu juga duduk di sampingnya. Diam, tak mengucapkan apa-apa.

"What you said two hours ago is still true?" tanya Zara.

"Are you better now?" Bukan jawaban yang Ervin ucapkan. Tapi pertanyaan. Sejak tadi ingin sekali ia menanyakan itu. Namun, ia tahan menunggu sampai Zara benar-benar tenang dan memulai bicara dahulu.

Meski tak langsung menjawab, Zara mengangguk. "Hm. Trauma gue nggak kambuh tadi. Cuma kaget sama yang lo ucapin."

Ervin mengernyit. "You mean?"

Menghela napas, Zara meluruskan pandangannya. "Selama ini, gue cuma ada keinginan buat lawan trauma gue." Zara memberi jeda. "Tapi gue nggak berani lakuin itu," lanjutnya.

"Karna inget sama kecelakaan itu?" tanya Ervin hati-hati takut tiba-tiba trauma Zara kambuh.

Zara menggeleng. "Bukan," balasnya.

"So?" Ervin tak tahu mengapa ia bisa semudah ini berbicara dengan Zara. Cewek yang sampai saat ini belum bisa ia maafkan karena Ersha belum juga sadar.

Menghirup napas, Zara menoleh. Membuat matanya menatap mata Ervin. Cowok itu entah sejak kapan menatapnya. "Karna gue nggak cukup percaya sama orang yang buat gue naik motor. Gue masih belum bisa percaya kalau orang itu bisa nenangin gue, kalau-kalau trauma gue kambuh," jelas Zara.

Dalam diam, Ervin menarik kesimpulan. Sebenarnya, Zara hanya perlu satu orang yang mampu menemani, dan bersama-sama melawan trauma.

Mengerjap, Ervin semakin tersadar kecelakaan itu tak hanya Ersha yang menjadi korban. Namun, Zara juga. Dan mungkin, cewek di depannya ini mempunyai luka yang lebih parah dari pada Ersha.

"So, what you said two hours ago, still true?" Lagi, Zara mengucapkan hal pertama yang ia tanyakan.

I want you to fight your trauma.

Itu yang Ervin ucapkan dua jam lalu. Mendengar pertanyaan Zara membuat Ervin berani menarik satu kesimpulan. "Are you believe in me?"

Tidak terus terang, pertanyaan itu hanya alibi. Ervin hanya beralibi. Yang sebenarnya, Ervin penasaran dengan satu hal.

Jika Zara menanyakan apa yang Ervin ucapkan dua jam lalu, jika dikaitkan dengan apa yang Zara ucapkan barusan, --mengenai orang yang bisa bersama melawan trauma, terlalu percaya dirikah jika Ervin menebak orang itu adalah dirinya.

Ervin harap dirinya punya kepercayaan diri untuk berharap orang itu benar dirinya.

"Yeah. You're the most believer person until now."

Ervin tidak bohong jika detak jantungnya tiba-tiba saja berdegup lebih cepat.

Karena jawaban yang Zara tuturkan tak seperti harapan. Ervin hanya berharap Zara menjawab iya.

Sedikit Kisah dari ZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang