Nineteen: Tiba-Tiba Menjadi Asing

0 1 0
                                    

Liam melirik Zara. Kali ini sudah berubah. Raut wajah Zara terlihat lebih tenang dari sebelumnya.

Namun, Liam tetap saja masih melihat raut takut dari sana.

Liam menginjak pedal rem perlahan.

Setelah mobilnya benar-benar berhenti, ia menoleh pada Zara.

Mengambil tangan Zara, mengelusnya "Ra, untuk kali ini, tolong jangan nangis lagi, ya? Gue tahu lo kuat. Gue tahu lo udah capek, 'kan, seharian ini?" tanyanya.

Zara mengangguk pelan.

"Gue tahu lo nggak akan kenapa-napa hanya karena satu hal. Gue tahu, lo bisa lewatin yang terakhir ini."

Zara tahu betul apa yang Liam maksud. Maksud Liam itu, Abraham. Yang terakhir itu, amarah Abraham yang sudah menanti di balik pintu.

"Atau, lo mau gue temenin?"

Zara sontak menggeleng. "Nggak usah. Lo ikut malah nambah masalah nanti, Li," balasnya.

Liam mengangguk. Benar. Mengingat ibu Zara dan ayah Zara itu berbeda. Sangat berbeda.

"Gue bisa kok, Li. Nggak usah khawatir. Kaya nggak tahu gue aja, lo," ucap Zara.

Liam terkekeh. "Iya. Lo pasti bisa."

Zara melepas seatbeltnya. "Makasih buat hari ini, Li. Makasih," ucapnya.

Liam berdecak. "Ck. Pake makasih segala. Nggak perlu kaya gitu kali, Ra," ucapnya.

"Ya kan tetap aja."

Liam menggeleng. "Udah, sana masuk, istirahat."

Zara mengangguk. "Iya-iya." Ia membuka pintu, keluar dari mobil Liam.

Tersenyum, melambaikan tangan.

Dari dalam mobil Liam membalas lambaian tangan Zara. Melambaikan tangan sebentar, selanjutnya menginjak pedal gas. Meninggalkan kediaman Zara.

Sementara itu, Zara menghirup napas dalam. Mengepalkan tangan, tahu akan ada yang terjadi setelah ia membuka pintu.

Bagaimana tidak. Sekarang saja sudah larut. Pertama kalinya Zara pulang selarut ini. Tidak izin, pula.

Menghirup napas, Zara mendorong pintu depan. Tanpa mengedarkan pandangan, matanya langsung terfokus pada laki-laki yang duduk di sofa. Di sampingnya, duduk perempuan yang menyanding laptop. Keduanya menatap Zara.

Zara menelan ludahnya susah payah.

Dalam hati menyumpah serapahi dirinya yang mulai gemetar. Bahkan baru menatap matanya saja Zara sudah takut. Namun akhirnya memberanikan diri melangkahkan kaki mendekat.

Menunduk, seolah sudah menjadi hal yang harusnya ia lakukan.

"Zara? Akhirnya kamu pulang juga," ucap Naura mengambil tangan Zara. Selanjutnya memeluk Zara.

Zara masih diam dalam pelukan Naura. Bahkan sampai Naura melepas pelukan.

"Kamu marah ya, Ra, gara-gara Mba marah ke kamu kemarin?" tanya Naura menatap Zara. Merasa bersalah.

Pertanyaan Naura tak langsung Zara jawab. Ia menggeleng.

"Ra, kemarin Mba nggak maksud jelek sama kamu, Mba cuma mau jagain kamu aja, Ra," jelas Naura.

Zara mendongak. Menatap mata kakaknya. Jelas sekali Naura khawatir padanya. Yang akhirnya kini membuat Zara merasa bersalah karena tak menghubungi kakaknya sekalipun.

"Dari mana kamu?"

Zara menoleh pada ayahnya, yang melontarkan pertanyaan itu. Pertanyaan singkat dan jelas itu tak langsung Zara beri jawaban. Karena apa? Karena Zara tak mungkin memberi tahu Abraham kalau ia baru saja bertemu Citra --ibunya.

Sedikit Kisah dari ZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang