Fourthy Six: So, Zara Will ....

1 0 0
                                    

"Lo tuh jadi cowok jangan lelet kenapa sih?"

Ervin menghela napas. "Iya-iya."

"Lo harus tahu, ya. Cewek itu butuh kepastian. Lo nggak bisa gandeng Zara ke sana-sini tanpa ada hubungan jelas."

Lagi, Ervin mengangguk. "Iya, tahu."

"Ck. Lo mah dari tadi 'iya-iya' doang. Nggak dengerin gue ya?"

Ervin menghela napas. "Udah selesai, ngocehnya?" Ia lalu berdiri.

Ersha mendengus. "Lo mah. Kalo dikasih tahu, dengerin kenapa sih."

Ervin memiringkan kepala. "Dari tadi juga didengerin, Ersha." Sepertinya sudah lebih dari duapuluh menit ia duduk di kamar kembarannya. Selama itu, duduk diam di hadapan Ersha. Kalau tak mendengarkan 'ocehan' Ersha, apa?

"Ck. Bodo ah. Terserah lo."

Ervin menghela napas. Ngambek. Lebih baik ia keluar. "Gue anterin Zara pulang dulu. Udah sore."

Ersha berdeham. "Hm. Sana. Jangan lupain apa yang tadi gue bilang."

"Iya, Bu Bos. Cerewet amat." Ervin memberi jeda. "Ikut keluar nggak?"

Ersha menggeleng. "Gue mau mandi."

Ervin mengangguk. "Yaudah." Ia lalu melangkahkan kaki, keluar dari kamar Ersha.

Melangkah ke ruang tamu, di mana Zara berada.

Dasar Ersha. Si paling cerewet.

Ervin menghela napas. Tapi kalau dipikirkan kembali, ucapan kembarannya tidak salah sepenuhnya juga.

Apa memang perlu satu status? Ervin pikir, kini dengan ia dan Zara baik-baik saja sudah cukup. Selama ia dan Zara baik, tidak ada masalah. Selama ia dan Zara sama-sama mengerti, sama-sama saling memahami.

Ervin menghentikan langkahnya begitu sampai ruang tamu. Pandangannya terfokus pada Zara yang duduk di sofa, sesekali tertawa entah melihat apa di ponsel.

Lalu, menoleh pada perempuan di sofa lain, di hadapan Zara. Agatha berbaring di sana, sama memperhatikan ponsel. Bedanya, Agatha mengamit pounch️ keripik. Memakan snack itu sembari memainkan ponsel. Begitu nyaman bahkan terlalu nyaman untuk melakukan itu di rumah orang lain.

Ervin berdeham. "Enak banget lo, tiduran sambil ngemil gitu," ucapnya pada Agatha.

Agatha mendongak, merasa apa yang baru saja Ervin katakan tertuju padanya. Ia mengangkat pounch keripik di tangannya. "Mau?"

Ervin menggidikkan pundaknya. Ia beralih menatap Zara yang terlihat sudah tak lagi fokus pada ponsel. "Pulang, Ra? Udah sore," tanyanya.

Zara tersadar. Benar. Sudah sore. Ia lalu mengangguk. "Iya," jawabnya lalu berdiri.

Ervin tersenyum tipis. Mendekati Zara. "Lo keluar dulu, ya? Gue ke garasi ambil mobil," ucapnya.

Zara terdiam. Ia lalu menggeleng. "Nggak, Vin."

"Nggak ... mau keluar sendiri?" Ervin sebenarnya ragu menanyakan itu.

Zara menggeleng. "Jangan mobil. Bawa motor aja," balasnya.

Ervin terkesiap. Ia kira, Zara tak mau lagi menaiki kendaraan itu. Setelah terakhir kali trauma Zara masih kambuh ketika mencoba menaiki motor. "Lo beneran?"

Zara menyunggingkan senyum. "Iya, beneran," jawabnya.

Ervin lalu diam. Menatap Zara, masih ragu. Merasa khawatir jika nantinya trauma Zara kambuh lagi, meski Ervin tahu dirinya bisa menenangkan Zara. Namun, setiap kali melihat cewek itu sesak napas, berkeringat dingin, saat traumanya kambuh, Ervin tidak bisa melihatnya. Tidak suka melihat Zara sakit.

Sedikit Kisah dari ZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang