Thirty Nine: To Make Sure You're Fine, In Your Home

0 0 0
                                    

Tak ada banyak hal yang tersisa dari kehilangan.

Kehilangan berarti semuanya hilang. Semuanya.

Yang tersisa, hanya kesedihan dari orang yang ditinggalkan.

Seperti Zara. Yang hanya bisa duduk diam, menyesali semuanya seolah ia yang membuat kesalahan. Padahal, cowok yang sejak satu jam lalu duduk di depannya berulang kali mengatakan kebalikannya.

Ervin sendiri yang memilih pergi. Bukan salah Zara dan tidak ada siapa-siapa yang bisa disalahkan.

Liam menyodorkan mangkuk berisi mi ayam ke hadapan Zara. "Makan ya, Ra?" pintanya.

Zara menggeleng. Menunduk, diam.

Liam menghela napas. Sebelum ke kafetaria sampai sekarang sudah duduk di bangku kafetaria Food Makmur lebih dari satu jam, Zara masih saja diam. Tak bersuara, apa pun.

Liam beralih mengambil gelas berisi es krim vanila yang sudah meleleh setengahnya. "Kalau enggak, makan es krim aja deh nih, nggak apa-apa," ucapnya kini menyodorkan es krim. Sengaja memesan dessert dingin itu, berharap dapat memperbaiki mood Zara.

Zara menggeleng, lagi. "Buat lo aja," ucapnya pelan.

Liam berdecak. Zara bahkan tak melirik sedikit pun apa yang ia tawarkan.

Berdeham, Liam menepuk pelan tangan Zara. "Yaudah, lo maunya apa?"

Zara meluruskan pandangan, menatap Liam. Ia menghela napas. "Maaf, Li."

Liam menarik satu sudut bibirnya. "Lagi-lagi." Ia memberi jeda. "Gue tanya lo maunya apa, Ra, bukan mau denger maaf," lanjutnya.

Zara memejamkan matanya. "Gue ... gue selalu ngrepotin lo," ucapnya bersalah.

Liam menggeleng. "Udah, nggak usah bilang gitu," ucapnya.

"Lo bahkan jadi nggak masuk PKL hari ini karena gue, Li. Gue minta maaf," ucap Zara.

Liam menggeleng. "Udah, nggak usah ngomong itu lagi." Ia menunjuk es krim yang hampir separuhnya meleleh dengan dagunya. "Itu udah meleleh es krimnya. Nggak mau dimakan?"

Zara mengangguk. Pelan mengambil sendok, menyuap sedikit es krim.

Liam tersenyum kecil melihat Zara. "Tinggal makan mi'nya, biar perut lo keisi," ucapnya.

Zara menggeleng. "Udah kenyang makan ini," balasnya menunjuk es krim yang bahkan belum ia makan seperempatnya.

Liam menghela napas. "Ra, gue nggak tahu seberapa besar pengaruh perginya Ervin buat lo. Tapi gue tahu mana yang bener mana yang salah, Ra. Dan gue nggak mau lihat lo jadi orang bodoh kaya gini."

Zara terdiam. Sendok di tangan ia letakkan kembali.

"Dia nggak akan balik ke sini meski lo kaya gini, Ra. Dia bahkan nggak tahu lo sampai kaya gini, sampai nggak mau makan dan diam aja, dia nggak tahu," jelas Liam.

Zara mengangguk. Liam benar. Benar sekali.

"Gue pikir, Ervin juga nggak akan buat pilihan yang salah. Meski gue nggak tahu ada apa sama kalian, sebenarnya," ucap Liam lagi.

Zara terkesiap. "Lo ... kenapa bisa ngomong kaya gitu?" tanyanya.

Liam menggidikkan bahunya. "Don't know. Cuma pendapat gue aja. Karena sejauh ini, gue lihat-lihat dia emang baik sama lo."

Zara tertegun. Ia mendesah lelah. Lagi dan lagi, ia membagi hal buruk pada Liam. Bukannya memikirkan hubungan dengan Liam yang belum bisa dibilang baik, Zara malah memberi hal lain, tentang orang lain.

Sedikit Kisah dari ZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang