40 - I WISH

5 3 0
                                    

Kim Namjoon berubah menjadi Kim Namjoon yang dulu. Berhati dingin, tak berperasaan, dan menggila karena pekerjaan. Sudah seminggu lamanya sejak insiden yang terjadi pada Jihyun. Selama itu pula, Jihyun tidak menampakkan dirinya di kantor, tepatnya di depan Namjoon.

Namjoon menjadi lebih banyak diam dan nyaris tak pernah tersenyum sehangat dulu. Ia memutuskan untuk mengubur lukanya dalam-dalam dan melupakan semua yang terjadi. Ia tak banyak berharap kalau Jihyun akan kembali. Ia sudah membayangkan bagaimana gadis itu sudah tak sudi menemuinya lagi.

Suara pintu diketuk, Namjoon menyahut, "Masuk." Mendengar seseorang masuk, tanpa menatapnya sedikit pun, Namjoon berkata, "Ada perlu apa?"

"Namjoon-ssi."

Namjoon tertegun. Suara itu. Mengapa ia merasa seseorang yang ia tunggu seminggu lamanya, memanggil namanya. Ia mengangkat kepalanya ragu, takut prasangkanya salah. Terlalu memikirkan seseorang, bukan tak mungkin ia akan mulai berhalusinasi bertemu dengannya.

"Selamat pagi, Namjoon-ssi," sapanya ramah.

"Jihyun?" Nama itu berhasil lolos dari mulutnya. "Kau ... kembali?" Sungguh, ini di luar dugaan. Bagaimana bisa Jihyun datang menghampirinya? Bahkan, Namjoon menyemat kata mustahil apabila mengkhayalkan itu terjadi.

Jihyun mengangguk singkat. "Apa kabar?"

Perlahan, segaris senyum yang sudah jarang sekali ia tunjukkan, nampak sepenuhnya di hadapan Jihyun. "Bagaimana keadaanmu?" Kerutan di kening menjadi pertanda bahwa Namjoon sangat mengkhawatirkan keadaan Jihyun.

"Aku sudah membaik," sahut Jihyun dengan senyuman yang sama seperti biasa. Ia tak mau menunjukkan sisi menyedihkan di depan Namjoon.

Namjoon hanya bisa menatap Jihyun dengan kekaguman yang tak bisa ia utarakan lagi. Ia benar-benar tak menyangka bahwa orang yang nyaris ingin ia lupakan, kini kembali muncul di hadapannya.

"Bagaimana kabarmu? Pasti pekerjaanmu sedikit merepotkan, ya?" tanya Jihyun seraya terduduk di kursi yang berhadapan dengan meja kerja Namjoon.

Namjoon mengangguk jujur. "Sebenarnya, ada yang membantuku, tapi tidak sebaik saat kau yang membantu."

"Mianhae, aku meninggalkanmu sendiri."

"Gwaenchana, sekarang kau sudah kembali." Senyumnya tak menghilang barang sedetik pun. Ia masih tak percaya bisa bertemu kembali dengan Jihyun.

"Tidak, maksudku ..., aku akan ...." Jihyun tak sanggup mengatakannya dengan tegas. Ia menyerahkan sebuah amplop putih dengan tangan yang gemetar.

Surat Pengunduran Diri

"Maksudmu?" Bukannya tak mengerti ataupun tak bisa membaca, Namjoon hanya tak mengerti mengapa Jihyun ingin mengundurkan diri setelah kembali dan bersikap manis. Tidak sekalian saja Jihyun datang dengan amarah dan melempar surat pengunduran diri itu pada wajah Namjoon agar ia memiliki alasan untuk melupakan Jihyun.

"Orang tuaku sangat mencemaskanku. Mereka ingin aku ikut mereka ke Jepang. Mianhae, aku tak bisa menjadi sekretarismu lagi," ungkap Jihyun seraya tertunduk, ia tak sanggup menatap Namjoon saat ini. Rasanya, ini sangat berat.

Jihyun pun menaruh kunci mobil yang selalu ia gunakan sebagai fasilitas dari Namjoon di atas meja. "Aku juga ingin mengembalikan ini. Terima kasih untuk semuanya."

"Lalu, bagaimana dengan ... kita?" Namjoon tak bisa membayangkan harus kehilangan Jihyun lagi. Setelah seminggu ini ia seperti ikan yang menggelepar di daratan sebab tak ada kabar lagi sejak terakhir kali Seokjin menemuinya.

"Sepertinya, kita harus mengakhirinya." Jihyun mengatakannya dengan lancar seolah tak berperasaan. Namun sebenarnya, hatinya ikut hancur. Ia tak ingin mengecewakan Namjoon lagi dengan penolakan.

"Mengakhiri sesuatu yang baru kita mulai? Kau ingin menghancurkan hidupku?" Namjoon terdengar frustrasi saat ini. Ia meletakkan sebuah kotak beludru di atas meja dengan kasar. Membukanya dan memperlihatkan cincin permata yang berkilau terselip di sana. "Aku bahkan ingin menikahimu."

Jihyun mencoba untuk menahan diri agar tidak menangis. Ia tak menyangka Namjoon sudah mempersiapkan cincin untuknya. Apa ia sudah keterlaluan karena menolak Namjoon untuk kedua kalinya?

"Mianhae, aku tak bisa." Hanya itu yang bisa Jihyun katakan.

"Tak bisa? Bahkan kau tidak memberiku kesempatan untuk memperjuangkanmu. Setidaknya, izinkan aku menemui orang tuamu untuk meyakinkan mereka." Namjoon kesal bukan main. Setelah berhari-hari putus asa menunggu Jihyun, saat datang, mengapa membawa kabar buruk seperti ini?

"Aku akan menikah dengan orang lain. Kumohon, jangan membuat ini semakin rumit." Jihyun terpaksa harus mengatakan hal yang sangat menyakitkan ini pada Namjoon.

Sontak, Namjoon menatapnya nanar seolah akan menerkam Jihyun saat ini juga. "Menikah dengan orang lain?! Siapa? Kim Taehyung? Apa sangat mudah bagimu untuk menikahi orang lain setelah—"

"Aku sudah selesai. Permisi. Semoga harimu menyenangkan," sela Jihyun seraya bangkit dan pergi setelah membungkukkan badan. Ia tak sanggup untuk berlama-lama duduk di hadapan seseorang yang sudah ia patahkan hatinya untuk kedua kali. Ia merasa menjadi orang yang sangat jahat sekarang.

Namun, saat ia menarik gagang pintu, Namjoon sempat berkata, "Hariku hancur, Park Jihyun. Tidak akan menyenangkan sama sekali."

Jihyun sempat terdiam selama beberapa detik, sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Namjoon. Ingin sekali ia berbalik dan berlari pada Namjoon, lantas memeluknya dan menyanggah semua yang sudah ia katakan sebelumnya. Akan tetapi, itu tidak akan pernah terjadi. Semalam, orang tuanya lagi-lagi membuat keputusan yang tak bisa Jihyun pilih.

"Kami memberimu dua pilihan. Ikut kami ke Jepang atau ... menikahlah dengan Kim Taehyung."

Jihyun tak bisa memilih opsi kedua. Bukannya enggan untuk menikah dengan pria sebaik Taehyung, ia hanya tak ingin menikah dengannya sementara pikirannya diliputi rasa bersalah pada Namjoon. Sementara opsi pertama, ia sedikit lebih lega sebab dengan menjauh dari Namjoon dan Taehyung secara bersamaan, setidaknya ia tidak merasa mengkhianati siapa pun. Namun bodohnya, mengapa ia malah berkata pada Namjoon bahwa ia akan menikah dengan seseorang?

Gadis itu segera keluar dan bergegas membereskan barang-barang yang ada di mejanya. Ia harus segera pergi dari sini secepatnya. Keputusan ini bukan hanya menyakiti Namjoon, tapi dirinya juga.

Ia sempat mematung kala melihat mejanya yang terlampau banyak kenangan bersama Namjoon. Bagaimana pria itu menghampirinya dan memberinya setumpuk pekerjaan, mengajaknya makan siang, atau sekadar ingin mengobrol dengan Jihyun sebab sudah penat dengan pekerjaan. Apa ia sanggup terlepas dari rutinitas yang sudah membelenggunya selama setahun lebih? Jihyun menggeleng cepat. Ia tidak akan bisa, tetapi ia akan mencoba.

Menikah dengan orang lain?! Siapa? Kim Taehyung? Rasanya, Jihyun ingin tertawa membuat alasan konyol seperti itu. Mana mungkin ia akan menikah dalam situasi seperti ini. Lagi pula, sejak kepulangannya dari rumah sakit tiga hari yang lalu, ia belum bertemu lagi dengan Taehyung karena kafenya terbengkalai sebab menemani Jihyun di rumah sakit setiap hari dan enggan membuka kafe. Pertemuan terakhir mereka pun tidak pernah membahas tentang pernikahan.

Seusai membereskan barang-barangnya, Jihyun hanya bisa menatap pintu ruangan Namjoon hampa. Ingin sekali ia masuk kembali dan berpamitan untuk yang terakhir kali. Namun, ia sadar, semua itu hanya membuatnya semakin sulit untuk melepas Namjoon. Bagaimanapun juga, Namjoon sudah mengisi hari-hari Jihyun yang tampak tak berarti lagi selepas ia dan Taehyung memutuskan untuk berpisah.

"Namjoon-ssi, selamat tinggal. Semoga kau bisa bahagia dan menemukan wanita yang tepat untuk mendampingimu. Semoga kita berdua bisa melewati situasi ini tanpa sempat menyerah. Semoga Kim Namjoon, semoga ...," Jihyun tersenyum tipis sembari menahan air mata yang sudah tidak terbendung lagi. "semoga kau baik-baik saja dan tidak akan terluka."

🐨🐨🐨

So Far Away [KTH] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang