"Jadi, kau sungguh mencintai Jihyun?"
Namjoon terdiam sejenak mendengar pertanyaan yang terkesan meragukan perasaan yang dimiliknya untuk Jihyun. Hari ini, Namjoon meminta Jungkook untuk bertemu sebab ia ingin menanyakan bagaimana sebenarnya peristiwa penusukan yang terjadi pada Jihyun delapan hari yang lalu, tepat dua hari setelah ia membantu Jihyun ke rumah sakit sebab mengalami pendarahan.
Jungkook berdeham, memberi sedikit sindiran sebab Namjoon diam saja. "Kau ragu dengan perasaanmu?"
Namjoon menggeleng. "Orang-orang yang meragukanku."
Jungkook menyeringai. "Biar kuberitahu. Sebenarnya, saat SMA Jihyun itu sosok yang sangat lemah dan penakut. Dia selalu dirundung kakak kelas hingga nyaris dilecehkan. Dan saat itu, saat Jihyun masih seorang gadis lemah yang tidak mampu memberontak orang-orang yang mengganggunya, aku menyukainya."
Namjoon terbelalak kaget. "Jinjja?"
Jungkook mengangguk santai tanpa malu. "Sisi lemah dan penakutnya yang membuatku ingin melindunginya. Salah satu alasan aku belajar taekwondo adalah Jihyun. Aku tidak ingin dia terluka lagi selama aku ada di sisinya."
"Bisa jelaskan apa yang terjadi di hari penusukannya? Aku sedang mengurus kasus ini dengan pengacara, tapi sepertinya Jihyun sudah tidak ingin menemuiku lagi." Namjoon terdengar lesu. Ia sudah nyaris putus asa.
Jungkook hanya mengangguk-ngangguk tanpa banyak berkomentar. Ia paham apa yang dirasakan Namjoon sekarang. Ia tak ingin menambah pikiran Namjoon.
"Sebenarnya, saat itu Jihyun seharusnya mengirim pesan untukmu. Namun, entah kenapa malah aku yang menerima pesannya," papar Jungkook seraya menggeser ponselnya sedikit lebih dekat pada Namjoon. Memperlihatkan pesan yang Jihyun kirimkan di hari penusukan.
Namjoon memperhatikan layar ponsel tanpa berkata apa pun. Apalagi saat melihat waktu pesan itu. Bukankah saat itu Namjoon sempat menelepon Jihyun dan dia masih baik-baik saja?
"Aku pernah diberikan pesan semacam itu oleh Jihyun saat kami masih SMA. Dan ketika kudatangi tempatnya, Jihyun berada dalam bahaya. Makanya aku langsung mendatangi tempatnya tanpa pikir panjang," jelas Jungkook seraya mengingat hari di mana seorang preman menancapkan belati di perut Jihyun tepat di depan matanya.
"Aku gagal melindunginya," imbuh Jungkook seraya tertunduk. Rasanya masih terbayang kala Jihyun berdarah-darah di pangkuannya.
Namjoon terpejam sebentar, menahan diri agar tidak terbawa suasana. Ia ingat bagaimana dua hari lalu Jihyun kesakitan dengan perut yang sudah berdarah. Mungkin saat hari penusukan sakitnya berkali-kali lipat lebih menyakitkan dari itu.
"Tenanglah. Kupastikan itu tidak akan terjadi lagi. Kedua preman yang sudah mencelakai Jihyun sudah ditangkap. Orang yang menyuruh mereka pun sudah ditangkap. Aku tinggal membutuhkan saksi agar mereka mendapat hukuman yang seberat-beratnya. Apa kau bersedia?" Namjoon mengutarakan alasan sebenarnya ia ingin menemui Jungkook.
Jungkook menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"
"Ya, sebagai saksi. Kau kan melihatnya secara langsung. Aku ragu untuk meminta keterangan dari Jihyun. Aku takut dia trauma dengan kejadian itu. Kumohon, permudah semua proses ini," mohon Namjoon sampai merapatkan kedua tangan. Hal yang tidak pernah ia lakukan pada siapa pun mengingat posisinya di perusahaan berada di puncak.
Jungkook mengangguk tanpa ragu. "Tentu. Aku tidak akan membiarkan orang yang mencelakai Jihyun lolos begitu saja."
"Ya, mereka memang harus diadili," timpal Namjoon.
"Ah iya," Jungkook teringat bahwa ceritanya belum selesai. "begitu aku mendapat pesan itu, aku segera mengirimkannya pada Taehyung. Dia datang di saat yang tepat sambil membawa polisi bersamanya. Dia juga sempat dipukul. Tapi tetap saja, kami terlalu lengah sampai tidak menyadari kalau salah satu preman kabur setelah menancapkan belati di perut Jihyun."
Namjoon membeku seketika. Ingatannya kembali pada hari kejadian. "Jadi, yang berteriak di telepon itu—"
"Ya, itu Taehyung. Kau menelepon di saat kami sedang berada dalam perjalanan menuju rumah sakit. Aku sendiri yang mengangkatkan telepon untuknya." Jungkook bercerita tanpa beban sebab kejadian itu sudah berlalu dan Jihyun baik-baik saja sekarang.
"Kenapa kalian tidak memberitahuku?!" Namjoon mengepalkan tangan di atas meja dengan pukulan pelan. "Aku sangat khawatir saat itu, membuatku frustrasi! Apa Kim Taehyung yang menyuruh semua orang tidak memberitahuku, hah? Kalau saja Seokjin-hyung tidak memberitahu, aku tidak tau lagi harus bagaimana karena tidak mendapat kabar Jihyun."
Jungkook mengangguk pelan, tidak terpengaruh dengan Namjoon yang mulai meluapkan emosi. "Semua orang membencimu karena kau membiarkan Jihyun pulang sendiri saat situasi tidak aman begitu. Sebenarnya, Jihyun juga ingin mengabarimu, tapi Taehyung dan Jimin tidak membiarkannya."
"Ya! Ya, benar! Memang aku penyebab Jihyun harus mengalami ini. Maka dari itu, kumohon bantu aku agar pelakunya mendapat hukuman yang sangat berat. Jadilah saksi dan datanglah ke pengadilan. Kalau kau bisa membujuk Jihyun, asal itu tidak menyakitinya, itu lebih bagus." Namjoon meredakan emosi. Ia sadar bahwa saat ini ia membutuhkan Jungkook untuk menjadi saksi di pengadilan.
"Baiklah," Jungkook mengantongi ponsel. "kabari saja apa yang perlu kulakukan selanjutnya," pungkasnya seraya beranjak pergi meninggalkan Namjoon sendiri.
Namjoon meremas tangannya kuat-kuat hingga buku-bukunya memutih. "Jung Hoseok sialan!"
***
Jung Hoseok, pimpinan Athena Corp. telah diamankan pihak kepolisian dengan dugaan percobaan pembunuhan pada salah satu pengusaha ternama
Nama Jung Hoseok memenuhi headline berita minggu ini. Selepas berhasil mengumpulkan banyak bukti, akhirnya Namjoon bisa menjebloskan Jung Hoseok ke penjara setelah apa yang dia lakukan pada Jihyun. Namun, ia masih harus sedikit lebih sabar lagi untuk menunggu hari persidangan.
"Namjoon-ah, kau tau? Aku sebenarnya tidak ingin menjadi pebisnis seperti ayahku," ujar pemuda bernama Jung Hoseok itu menghampiri temannya seusai mengikuti ujian masuk universitas.
"Kenapa memangnya? Kau adalah anak sulung ayahmu. Lagi pula, adikmu pun perempuan, kan?" Namjoon hanya tersenyum kecut menghadapi kenyataan bahwa dirinya pun seolah diwajibkan menjadi pebisnis seperti sang ayah. Tentu, ia adalah anak semata wayang dari seorang pengusaha sukses dengan perusahaan yang memiliki cabang di mana-mana.
Hoseok membuang muka setelah mendengarkan ucapan Namjoon yang secara tidak langsung mengatakan kalau mereka harus menerima nasib sebagai penerus perusahaan ternama.
"Kita memang bernasib sama, terlahir sebagai penerus perusahaan. Tapi, kenapa kau malah menetap di Korea? Bukankah kita berjanji akan kuliah di London?" Hoseok melempar tatapan kesal pada Namjoon.
"Mianhae," Namjoon tampak ragu memberikan penjelasan. "ibuku terlalu cemas membiarkanku sendirian di negeri orang."
Hoseok mendecak kesal. "Kenapa tidak memberitahuku sejak jauh-jauh hari? Sudah jurusan diatur orang tua, ditambah di sana aku sendiri. Kau teman yang menyebalkan."
Sejak masuk universitas, Namjoon sudah kehilangan kabar Hoseok. Selain sibuk kuliah, Hoseok tampak memutus hubungan dengan memblokir kontaknya. Ditambah, keadaan perusahaan ayah mereka sedang bersiteru memperebutkan proyek besar. Entahlah, mereka seakan ditakdirkan untuk bermusuhan secara turun-temurun hingga detik ini.
Namjoon memperoleh pendidikan pascasarjana di London. Namun, ia tidak menemukan Hoseok di sana. Temannya sudah kembali pulang ke Korea dan diberi tanggung jawab perusahaan ayahnya yang saat itu sudah mulai sakit-sakitan. Sejak itulah, Namjoon benar-benar kehilangan sahabat baiknya. Hoseok di perusahaan sangat otoriter dan tidak kenal ampun pada pesaingnya.
Dan entah mengapa, setelah Namjoon sudah memimpin perusahaan, ia harus berhadapan dengan Hoseok dengan cara yang mengerikan. Mengapa bisa sampai mencelakakan Jihyun? Mulai detik ini, Namjoon hilang kepercayaan pada semua orang, termasuk dirinya sendiri yang tidak becus menjaga Jihyun agar tidak celaka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
So Far Away [KTH] ✅
أدب الهواةTrilogy of Maknae Line EPISODE I Perjodohan terjadi sebab kedua orang tua mereka bersahabat sejak lama. Tak disangka, mereka berhasil menjalin hubungan hingga bertahun lamanya. Namun, di tahun ketiga, semuanya kandas. Membuat mereka memutuskan untuk...