24. Zona Penuh Ranjau

536 135 14
                                    

Ola benar-benar lupa jika selera makan Nero sangat berbeda darinya. Ia, yang notabene adalah orang Indonesia asli, tidak begitu menyukai nasi sehingga memang jarang memasak nasi setiap kali dirinya memasak. Kentang dan roti adalah hal wajib yang harus selalu Ola makan layaknya nasi bagi Nero.

"Aku akan memesannya dari restoran Cina."

Viola hendak berbalik sebelum cekalan tangan kuat Nero mencegahnya bergerak. Sekujur tubuhnya langsung memanas dan ia mengingat saat mata mereka tadi bertatapan. Ini konyol! Seharusnya ia tidak boleh seperti ini.

Bahkan tadi, dengan bodohnya, Ola berdiri lama sekali di dalam ruang gantinya hanya untuk memilih apa yang sebaiknya ia pakai. Berapa kali ia meraih satu gaun, berganti ke gaun lainnya, sebelum memutuskan memakai celana dan kaos yang sama sekali tidak menunjukkan kegugupannya ini?

Ola tidak ingin memikirkan apapun yang ia pikirkan itu, dan juga tidak ingin merusak apa yang baru saja ia miliki bersama Nero. Persahabatan mereka harus murni tanpa embel-embel, jika ingin itu berhasil.

Nero melepaskan tangannya dengan cepat, dan Ola diam-diam bersyukur dalam hatinya. Ia akan mencatat bahwa sejak sekarang, ia akan menghindari segala kontak fisik dengan Nero ataupun sentuhan kecil seperti ini.

"Aku tidak butuh nasi. Yang aku butuhkan sekarang adalah makan secepatnya atau aku akan mati."

Ola meraih piring dan menyerahkannya pada Nero. "Lain kali, akan kuingat untuk memasak nasi jika mengundangmu makan lagi."

"Lain kali," Nero membeo sambil meraih piring ayam lada hitamnya. "Itu berarti, masih satu bulan lagi. Itupun jika aku masih bertahan di sini."

"Kau akan bertahan," ucap Ola yakin sambil menuangkan sup untuk dirinya sendiri.

Nero menggigit ayamnya, kemudian mengerang sambil memejamkan mata.

"Aku tidak menduga jika masakanmu memang seenak masakan ibumu."

"Kau pernah memakan masakan ibuku?"

Nero mengangguk, lalu meraih mangkuk dan mengisinya dengan sup hingga penuh. "Beberapa kali beliau mengundangku dan Muti makan di rumah kalian. Masakan Bu Vio selalu membuatku rindu masakan rumah. Sama seperti yang selalu Tante Dina berikan padaku."

Ola tersenyum mendengarnya. Tampaknya, meskipun tidak memiliki keluarga di Indonesia, Nero mendapatkan 'keluarga' lain yang menerimanya dan memberikan apa yang paling Nero butuhkan. Kehangatan keluarga.

"Apa Bu Vio yang mengajarimu memasak selezat ini?" Nero menyendok lagi ayam dan salad ke piringnya setelah menandaskan yang pertama.

"Ya. Bunda bilang, tidak selamanya makan di restoran itu menyenangkan, pasti akan ada saat-saat di mana aku merindukan masakan rumahan. Dan bunda memang benar."

"Beliau selalu benar tentang apapun," angguk Nero.

"Apa itu caramu mengatakan jika bundaku tidak bisa dilawan?"

Pria itu tertawa lalu tersedak sup yang tengah ia nikmati. Ola menyodorkan gelas air putih yang langsung disambarnya.

Tadi, ia juga merasa sangat lapar, tetapi sekarang, melihat Nero makan dengan lahap, rasanya ia tidak ingin makan lagi. Ia sudah merasa kenyang.

Biasanya, Ola akan memasak dalam jumlah yang cukup banyak untuk ia bagikan kepada Drew, atau jika akhir pekan, ia akan memberikannya pada Derek, resepsionis yang tadi menyapanya, atau Helen, partner kerja Derek, atau juga penjaga keamanan gedungnya.

Hanya saja, ia tidak pernah melihat langsung bagaimana mereka menikmatinya. Tidak seperti sekarang saat ia benar-benar mengamati Nero menghabiskan ayamnya dan mengisi piringnya lagi, juga ketika pria itu mengerang nikmat saat menyendok supnya.

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang