69. Sebuah Lamaran

269 89 18
                                    

Seandainya saja Nero tidak bangkit dengan cepat dari duduknya, bisa dipastikan gadis itu akan jatuh ke lantai. Wajah Viola pucat pasi mendengar apapun yang diberitahukan Damar padanya, dan tanpa bertanya pun, Nero tahu jika itu adalah sesuatu yang buruk. 

Ia mengambil alih ponsel yang masih ada di telinga Viola, dan bicara dengan Damar. 

“Damar, kenapa? Dia hampir pingsan.”

Mata Nero melirik Viola yang masih ada dalam dekapannya. Wajahnya begitu pias seakan darah telah surut dari wajahnya.

“Opa…” suara Damar begitu serak, “Opa terkena serangan jantung pagi ini, dan dokter meminta semua keluarga untuk bersiap-siap akan hal terburuk. Apa Ola baik-baik saja?”

Nero merasakan dadanya sesak karena kesedihan Viola. “Aku rasa dia shocked. Aku akan mengatur penerbangannya malam ini.”

Itu berarti, lagi-lagi Nero harus menjalani penerbangan. Hanya saja kali ini lintas benua dan butuh waktu belasan jam. Ia tidak akan membiarkan Viola pergi sendirian dengan kondisinya yang seperti ini walaupun dirinya sendiri kelelahan. Jauh lebih baik bagi Nero untuk mati kelelahan daripada harus jauh dari Viola.

“Tapi, Ner, aku tahu kalian sibuk dan Ola…”

“Tidak ada yang lebih penting daripada keluarga! Viola akan pulang!”

Ia menutup telepon tanpa bicara apa-apa lagi, dan segera membawa tubuh Viola yang kaku itu ke kursi yang tadi ia duduki. Mata Viola menerawang jauh, meskipun Nero berada di hadapannya.

“Viola?” bisiknya sambil meraih wajah wanita itu agar menatapnya.

Bisikan Nero seakan menyentaknya. Kepala Viola bergerak, lalu sepasang mata gelap itu menatapnya dengan hampa. Matanya berkaca-kaca, bersiap untuk menumpahkan air mata.

“Ner, Opa…” 

Suaranya selirih bisikan angin, dan Viola menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak menangis.

Nero tahu itu adalah usaha yang sangat sulit, terutama mengingat Viola baru saja memiliki hubungan yang tidak begitu baik ketika dirinya berada di Indonesia.

Nero saja, ketika mendengar Dad jatuh dari kuda, langsung merasa bersalah karena selama ini tidak pernah ada untuk Dad. Terlebih setelah ia tahu semua kebenarannya. Ia semakin merasa bersalah walaupun Dad bilang itu bukan salahnya.

“Opa akan baik-baik saja.”

Walaupun tidak yakin, Nero mengatakan itu dengan mantap. Ia menarik Viola dalam pelukannya, berharap itu bisa mengurangi kesedihan yang dirasakan wanita itu. bahu Viola bergetar, tetapi wanita itu masih menahan dirinya untuk tidak menangis.

“Aku harus pulang, Ner.”

Nero mengangguk tanpa melepaskan pelukannya. “Kita akan berangkat malam ini juga. Aku akan menelepon Christian dan bersiap-siap.”

Viola menjauhkan diri dari Nero dan menatapnya. “Kau tidak harus ikut denganku. Aku bisa pulang sendiri dan naik pesawat komersial. Kita cukup sibuk di sini, dan Stevan akan kewalahan jika harus melakukan semuanya sendirian.”

Ia juga sudah tahu jika Viola pasti akan menolaknya. Namun, kali ini Nero tidak akan mengalah lagi. Ia tidak akan membiarkan Viola jauh dari pandangannya, apalagi berada di benua yang lain. Itu hanya akan membuat Nero merasa sangat gelisah. 

Bukan berarti Robert akan mengejarnya di sana. Hanya saja, membayangkan Viola jauh darinya sudah membuat Nero gelisah. Ia tidak tahu sampai kapan Viola akan berada di sana, dan Nero tahu, setiap detik yang ia lewatkan tanpa melihat Viola adalah sebuah siksaan yang sangat nyata.

“Dad akan segera kembali. Paman Stevan bisa mengawasi semuanya sendirian sebelum Dad kembali.”

“Tapi…”

Nero menggeleng tegas sambil menatap Viola tanpa keinginan untuk mengalah sedikitpun. Viola menatapnya, menghela napas lelah, sebelum akhirnya mengangguk kalah.

“James tidak akan suka ini. Aku terlalu banyak mengajukan cuti.”

“Itu bukan masalah. Aku yang akan menelepon Dad.”

“Dan jika dia tidak mengijinkanmu ikut denganku? Atau lebih parahnya, tidak mengijinkanku pulang?”

Nero tersenyum menenangkan. “Kau pikir Dad orang yang sekejam itu?”

Wajah Viola memerah, dan Nero senang mendapati rona itu sudah kembali. Itu jauh lebih baik daripada melihat Viola pucat pasi.

“Bukan itu maksudmu,” bisiknya sambil menggigit bibir.

“Ayo kita pulang untuk bersiap-siap.”

Tanpa bantahan, Viola keluar dari ruang rapat diikuti Nero di belakangnya. Beruntung semua orang sudah keluar dari ruangan itu hingga tidak ada yang melihat apa yang terjadi.

Dalam perjalanan turun, ia menghubungi Christian dan Dastan, co-pilot, untuk perjalanan panjang ke Indonesia. Nero beruntung karena Dad memiliki fasilitas nomor satu untuk urusan tersebut. 

Ia belum menghubungi pria itu dan akan melakukannya nanti saat di apartemen. Nero tidak ingin Viola mendengar apa yang ia bicarakan dengan Dad.

“Aku yang akan menyetir pulang. Mana kunci mobilku.”

Wanita itu meraih tasnya dan mengulurkan kunci ke telapak tangan Nero yang terbuka, tanpa protes seperti biasanya.

Perjalanan pulang mereka berlangsung dalam keheningan. Viola memejamkan mata, entah dia tidur atau memang hanya tidak ingin diganggu. Namun, sepertinya yang kedua, karena begitu mobil Nero berhenti di tempat parkir, wanita itu membuka matanya dan menatap Nero dengan tajam.

“Ner,” bisiknya sebelum mereka berdua keluar dari mobil.

“Ada apa?”

“Jika…jika keadaan Opa tidak membaik…”

“Jangan bicara seperti itu,” potong Nero dengan suara perih. “Opa akan baik-baik saja.”

Mata Viola kembali berkaca-kaca. “Lalu jika tidak? Aku akan sangat merasa bersalah sekali padanya.”

Nero kembali memeluk tubuh mungil itu dan mengusap punggungnya dengan lembut. Ini sama buruknya seperti saat Viola tahu tentang Robert dan kebebasannya. Kenapa semua harus terjadi dalam waktu yang berdekatan?

“Kita akan di sana sampai Opa benar-benar sembuh. Tidak ada apapun yang perlu kau khawatirkan, apalagi tentang pekerjaan.”

Viola mengangguk lalu melepaskan diri dari pelukan Nero, dan menatapnya dengan gugup. Mata Nero menyipit curiga menatapnya. Ia tahu ada yang ingin Viola sampaikan padanya.

“Viola, ada apa?”

Viola menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur ketenangannya sendiri sebelum berkata, “Nero, maukah kau menikah denganku?”








It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang