59. Bicara

145 38 5
                                    

Mendengar suara tangisan Viola yang lirih itu, seperti pisau yang tadi digenggamnya, dihunjamkan dengan kuat dalam dadanya. Viola selalu terlihat setegar batu karang, dan ketika akhirnya tetesan bening itu luruh dari matanya, Nero bisa merasakan sebesar apa ketakutan yang dirasakan wanita itu.

Dasar bajingan! Jika pria itu masih berkeliaran di luar sana, Nero bersumpah akan memburunya, dan tidak akan memberi ampun kepada penjahat itu. Bahkan hingga ke lubang tikus pun, Nero tidak akan pernah melepaskannya.

Jika ada satu hal yang sangat disesalinya sekarang, itu adalah kenapa ia tidak mengenal Viola sejak dulu. Jika ia tidak pernah pergi untuk mencari ibunya, Viola tidak akan mengalami kejadian ini. Wanita itu akan baik-baik saja dan tidak akan mengalami trauma. Ia akan menjaga Viola seperti ia menjaga Muti selama ini.

Nero memejamkan mata. Ia tidak akan menyalahkan Muti, melainkan dirinya sendiri. Dirinyalah yang jatuh cinta kepada gadis itu, dan akhirnya memutuskan untuk tinggal di Jakarta. Dirinyalah yang membuang peluang mengenal Viola lebih cepat daripada saat ini. Ia yang memilih bertahan untuk Muti dan berharap satu saat gadis itu akan mencintainya.

Tangisan Viola bukan sesuatu yang disuarakan dengan keras. Itu hanya berupa isakan dan bahu yang gemetar dalam pelukan Nero. Namun, efek yang ditimbulkan padanya tetap begitu besarnya. Apa yang bisa Nero lakukan untuk menghentikan air mata itu? Mendengar wanita baja dan keras kepala ini terisak, menghancurkan hati Nero menjadi serpihan yang semakin kecil.

Ia memeluk Viola semakin erat, sangat ingin mencium puncak kepala wanita itu, tetapi ia juga tidak ingin Viola tahu apa yang dirasakannya. Sudah cukup buruk hari ini Viola menerima banyak kejutan. Ia tidak ingin menambahnya lagi.

Isakan itu akhirnya mereda, sebelum akhirnya Viola melepaskan pelukan mereka, dan berbalik untuk menghapus sisa air matanya.

"Makan malamnya gosong," ucapnya dengan suara sengau sambil memandang daging yang kini sudah menghitam. Mereka bahkan tidak mencium aroma gosong itu tadi.

Namun, Nero tidak peduli pada makan malam itu. Ia meraih tubuh Viola hingga wanita itu menatapnya. Mata Viola tampak sembab hingga membuat hati Nero sakit. Ia tidak pernah ingin melihat seorang wanita menangis, apalagi wanita yang disayanginya.

Nero memberanikan diri untuk menghapus bekas air mata yang tersisa, berlama-lama meletakkan jemarinya di sana sebelum Viola mundur dan berjalan keluar dari dapur.

"Kita memesan makan malam saja. Apa yang ingin kau makan?"

Ia tidak ingin makan. Nero hanya ingin mendengar bahwa pria itu tidak akan mengganggu Viola lagi sekarang. Ia meraih tangan Viola dan mencekalnya, hingga wanita itu berhenti melangkah.

"Apa kau pernah bertemu dengan pria itu lagi?"

Pandangan Viola menerawang sejenak sebelum ia menggeleng. "Polisi mengadilinya dan memasukkannya ke dalam penjara. Kudengar vonisnya sepuluh tahun penjara."

Dan sudah berapa tahun berlalu sejak kejadian itu? Apa pria tersebut tidak mendapatkan remisi seperti yang sering didapatkan para narapidana di hari-hari khusus?

"Tetapi kau masih takut."

Viola mengangkat bahu dan membuka kulkas, lalu mengeluarkan sebotol ale jahe. "Aku ingin makanan Cina. Kau mau?"

Tidak ada yang bisa Nero lakukan selain mengangguk. Viola tidak akan berhenti membicarakan makanan jika Nero masih terus membantahnya. Ia mengikuti wanita itu ke ruang duduk, mendengarkannya memesan banyak makanan, dan tidak mengalihkan pandangannya hingga Viola selesai menelepon.

"Apalagi yang kau sembunyikan dariku?"

Bibir wanita itu cemberut sebelum menjawabnya. "Kemunculan Radit membuat bayangan hari itu kembali datang. Pria yang menguntitku berkata bahwa dia telah menyukaiku selama satu tahun penuh semenjak aku pindah ke California, dan aku bahkan tidak pernah memberi sedikit pun perhatian padanya."

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang