67. Membencimu Sama Sulitnya Dengan Membenci Kopi

281 88 6
                                    

Mulut Ola menganga ketika mendengar apa yang Nero katakan. Kejutan macam apalagi ini? Apa Nero sedang bercanda? Namun, saat mengamati wajah pria itu, tidak ada sedikit pun jejak bercanda di sana.

Ia menatap pintu itu, lalu beralih pada Nero lagi selama beberapa saat. Bagaimana mungkin pria itu tinggal di depan rumahnya dan Ola sama sekali tidak tahu apa-apa? Nero memang pernah bertanya tentang apakah apartemen itu dijual, tetapi Ola tidak menyangka itu akan benar-benar terjadi.

"Maksudmu, kau...tinggal di situ?" Ia menunjuk pintu ganda berwarna hitam yang hanya memiliki satu angka berbeda dengan pintunya itu.

Nero mengangguk tanpa senyuman bercanda.

"Sejak kapan kau pindah?"

Kepala Ola mengingat aktivitas pindah-pindah akhir pekan lalu ketika ia baru saja pulang dari Indonesia. Banyak orang lalu lalang saat ia keluar rumah, tetapi ia tidak mengenali satu wajah pun dari orang-orang tersebut.

"Ketika kita pergi ke Boston."

Benar. Ia ingat Nero menyusulnya.

"Dan kau tidak merasa perlu untuk mengatakan apapun padaku?"

Sekarang, Ola menatap Nero dengan marah. Ia sudah mengatakan hampir semua rahasia hidupnya pada Nero, dan pria itu bahkan tidak merasa perlu untuk menjelaskan kepindahannya? Apa mereka benar-benar berteman? Atau, hanya dirinya yang menganggap jika mereka adalah teman?

Pantas saja, pria itu muncul di depan pintu apartemennya kemarin dengan kopi yang masih panas. Pantas saja, Nero mengajaknya pulang ke rumahnya karena hanya tinggal berjalan beberapa langkah, dan mereka sampai di rumah pria itu.

"Aku sedang menunggu saat yang tepat," jawab Nero dengan santai. "Dan sebelum aku bilang apapun, drama ini terjadi lebih dulu. Aku hanya tidak ingin memberimu kejutan lain. Aku tahu pasti merasa kecewa padaku karena menyembunyikan ini darimu."

Ia tidak hanya kecewa, Ola ingin marah kepada pria itu karena telah membohonginya lagi dalam waktu satu hari. Namun, seperti yang terjadi sebelumnya, amarah itu hanya datang dalam sekejap, dan pergi begitu saat ia menatap wajah pria itu. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa ia bahkan tidak bisa marah lebih lama kepada Nero?

Ia tidak menyukai ini, tetapi Ola juga tahu bahwa, entah bagaimana, Nero telah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Pria ini tahu lebih banyak daripada yang semua orang tahu, termasuk keluarganya. Pria ini telah melihat betapa rapuhnya dirinya karena fakta bahwa Robert sudah bebas dari penjara. Nero telah memegang hampir semua kunci rahasia hidupnya. Lalu, bisakah Ola marah kepada seseorang seperti itu?

"Apalagi yang kau sembunyikan dariku? Lebih baik katakan saja semuanya sebelum aku benar-benar marah padamu nantinya," kata Ola sambil cemberut. Ia tidak pernah menyukai kejutan dalam bentuk apapun juga.

Nero menampilkan sebuah senyum terbaiknya hingga membuat Ola harus menoleh ke arah lain jika tidak ingin jantungnya berdetak dengan memalukan. Sialan! Apalagi ini? Setelah sudah cukup malu karena telah menangis berkali-kali di hadapan Nero, ia tidak ingin menambahnya dengan degup jantung yang memalukan.

"Tidak ada. Tidak ada lagi yang kusembunyikan darimu."

Senyum dalam suara pria itu, membuat Ola kembali menoleh padanya. "Asal kau tahu, aku benar-benar benci dibohongi. Terutama jika itu dilakukan berkali-kali."

Nero mengangguk. "Akan kuingat itu."

Pria itu berjalan ke pintu yang tertutup itu, memencet sandi pintunya tanpa berusaha menutupinya dari Ola, dan otak cerdasnya langsung bisa mengingat tanggal itu dalam satu kali lihat. Itu tanggal pertama kali Nero bekerja di kantor. Atau tanggal lain yang sama berartinya bagi Nero? Entahlah, ia tidak ingin bertanya. Sejujurnya, semua kedekatan ini agak membuatnya lelah.

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang