61. Satu Hari Tanpamu

247 89 4
                                    

"Kenapa kau harus kemari setiap pagi? Aku punya mobil sendiri yang bisa kukendarai ke kantor."

Bibir Ola cemberut saat melihat Nero berdiri di depan pintu apartemennya pagi-pagi sekali. Ia bahkan belum bersiap-siap untuk ke kantor dan masih mengenakan baju tidurnya. Namun, di balik sikapnya yang cemberut, Ola senang melihat Nero ada di sana. Itu hampir seperti kebiasaan sekarang.

"Jadi kau tidak butuh kopiku?" ucap Nero sambil menggoyang-goyangkan gelas kopi di tangan kanannya sambil tersenyum.

Ola mendesah sambil membuka pintu lebih lebar, lalu merebut gelas itu dari tangan Nero. "Kau tidak pernah bermain adil."

"Dan kau terlalu mudah untuk disogok," jawab Nero sambil tertawa. "Apa yang kau buat untuk sarapan?" Pria itu berbalik saat Ola menutup pintu.

"Sudah kuduga kau kelaparan," gerutunya sambil berjalan lebih dulu ke dapur. "Apa yang terjadi dengan pelayan dan koki di rumahmu? Kau memecat mereka semua setelah lebih sering memakan masakanku?"

"Aku sudah keluar dari rumah."

Ola berbalik dengan cepat hingga nyaris menumpahkan kopinya. "Kau tidak mungkin serius. Kapan?"

"Hari Minggu." Nero duduk di meja makan, dan meminum kopinya sendiri.

"Ini sudah hari Selasa dan kau tidak mengatakan apapun atau mengundangku ke rumahmu? Apa kita benar-benar berteman?"

Ledakan tawa Nero memenuhi dapurnya yang sunyi, dan sialnya, Ola menyukai itu. Ia terbiasa dengan kesunyian di apartemennya, tetapi sekarang ia juga mulai terbiasa dengan kehadiran Nero di sini. Memasak sambil mengobrol ternyata jauh lebih menyenangkan daripada sambil bernyanyi seorang diri.

"Aku akan mengundangmu nanti. Mungkin memasakkanmu makan malam?"

Ola mengangkat alisnya. "Apa kau bahkan bisa memasak?"

"Kau menghinaku lagi." Nero terkekeh sebentar sebelum bertanya lagi. "Apa yang kau buat pagi ini?"

Kenapa rasanya menyenangkan ada yang bertanya apa yang dimasaknya? Apa mereka sedang bermain rumah-rumahan sekarang? Dulu, saat Ola masih kecil, ia sering melakukan permainan itu bersama Bunda di rumah kontrakan mereka yang sempit. Ola akan menyebarkan semua mainannya, dan berperan sebagai ibu, sementara Bunda adalah anaknya.

Setelah pindah ke rumah Ayah, permainan itu berlanjut dengan ayah sebagai anak sulung. Juga ruang bermain yang lebih besar, dan mainan yang lebih bagus dari apa yang pernah dimilikinya. Segalanya menjadi lebih indah setelah orang tuanya bersatu kembali, dan Ola kecil sempat berharap bahwa ia juga akan bisa mengalami semua itu.

Namun, serangkaian hal tidak menyenangkan yang terjadi dalam usia dewasanya, membuat Ola menyingkirkan semua keinginan itu jauh-jauh. Tidak banyak orang yang seberuntung orang tuanya. Kisah cinta seperti negeri dongeng hanya sedikit dari begitu banyak kisah cinta menyedihkan di dunia ini.

Tanpa suara, Ola menyerahkan piring berisi sandwich dan sosis di hadapan Nero yang membuat pria itu mendongak padanya.

"Apa kau tahu jika aku sudah merindukan lagi nasi uduk saat sarapan?"

Ola tertawa. "Seharusnya kau membawa bahan-bahannya dari Indonesia untuk membuatnya sendiri."

"Kenapa kau tidak terlalu suka makan nasi?" tanya Nero sambil menggigit sosisnya.

"Kurasa itu menurun dari ayahku. Aku juga tidak bisa menemukan alasannya." Ola memasukkan beberapa potong sandwich dan sosis ke dalam kotak-kotak makan.

"Itu untuk Jules dan Drew lagi?"

Ia hanya tersenyum tanpa memandang Nero. "Ini akan sempurna jika ada kopi buatanmu juga."

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang