17. Siapa Bilang Hidup Itu Adil

484 145 20
                                    

Ini jelas tidak adil. Bagaimana bisa Viola mengajukan cuti di saat dirinya baru mulai bekerja? Di saat ia tidak mengetahui apa-apa tentang perusahaan? Memang, ada Paman Stevan yang akan selalu membantunya. Namun, tentu saja itu berbeda.

Entah bagaimana, menghabiskan satu hari penuh kemarin dan pagi ini bersama Viola, membuat Nero merasa berbeda. Ia seperti menemukan lagi apa yang telah lama tidak ia rasakan. Kenyamanan.

Memangnya, apa bedanya hubungan ini dengan saat ia bersahabat dengan Muti?

Jelas, itu adalah sesuatu yang sangat berbeda. Nero tidak tahu bahwa akhirnya akan seperti ini, tetapi, dengan Viola, dirinya merasakan kebahagiaan murni yang tidak ia rasakan ketika bersama Muti, meskipun jelas-jelas ia memiliki perasaan terhadap gadis itu.

Mungkin, di situlah letak permasalahannya. Dengan Viola, ia tidak memiliki perasaan romantis apapun sehingga dirinya bisa jauh lebih rileks, dan bisa membicarakan apapun tanpa khawatir. Oke, mulai sekarang ia harus menyaring perkataannya karena beberapa hal jelas membuat wanita itu tersinggung.

Bersama Muti, meskipun Nero sangat bahagia karena bisa melihat wajah ceria gadis itu, tetap ada bagian dari dirinya yang tidak bisa melupakan fakta bahwa ada luka dalam hatinya setiap kali melihat Muti tersenyum. Setiap kali ia mengingat fakta bahwa gadis itu tidak memiliki perasaan apapun padanya.

Dulu, Nero berpikir jika itu adalah konsekuensi dari pilihan hidupnya. Dari apa yang ia pilih untuk tetap dekat dengan Muti walaupun gadis itu tidak membalas perasaannya. Sekarang, setelah bertemu dengan Viola dan menjalani sesuatu yang sangat berbeda, Nero tahu jika ia adalah jenis orang yang sangat suka menyiksa diri sendiri.

Nero masih ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang Viola, tentang apa yang membuatnya marah, apa yang tidak ia sukai, juga bagaimana kompetennya wanita itu saat bekerja.

Sayangnya, ia bahkan hanya memiliki waktu beberapa hari lagi sebelum Viola mengambil cutinya dan pulang ke Indonesia. Seandainya Dad sudah sembuh, Nero pasti akan ikut Viola pulang.

Pulang. Bukankah seharusnya, tempat inilah rumahnya? Ia dibesarkan di kota yang tidak pernah tidur ini, ditempa oleh ayahnya agar menjadi pria yang kuat dan tegar, tetapi pada akhirnya, ia memilih tempat, atau negara lain, untuk pulang?

Keluarga. Hanya itulah alasan Nero menganggap Jakarta adalah 'rumahnya'. Karena ia memiliki keluarga di sana. Bukan orang-orang yang memiliki hubungan darah dengannya, tetapi orang-orang yang menyayangi dan peduli padanya tanpa syarat.

Sekarang, bagi Nero, bu Rahma adalah ibunya. Bukan Mama. Wanita itu hanya melahirkannya. Bu Rahma-lah yang merawat dan menyayanginya seperti Nero adalah anak wanita itu sendiri. Jika Dad tidak memaksa bu Rahma pulang ke Jakarta, mungkin Nero akan tumbuh menjadi pria yang benar-benar berbeda dari dirinya yang sekarang.

Ia sangat ingin seperti Viola. Walaupun wanita itu di sini sendirian, setidaknya ia memiliki keluarga dan juga rumah yang selalu menunggunya, selalu mendukungnya, dan selalu menyayanginya tanpa syarat apapun, tidak peduli bagaimana keadaannya.

Nero ingin menjadi bagian dari keluarga yang hangat, yang selalu mengobrol saat makan malam, juga saling mencela saat mereka bersantai di ruang duduk sambil meminum teh.

"Ini tidak adil," gerutu Nero menyuarakan kejengkelannya.

Viola memang sudah mengajukan cuti jauh sebelum dirinya masuk. Hanya saja, tetap segalanya terasa salah.

Pagi tadi, ketika ia memakai setelannya yang, ajaibnya, sangat sesuai dengan ukurannya itu, Nero berpikir sambil mematut dirinya di cermin. Mungkin, ini memang jalan hidup yang harus dijalaninya. Setidak suka apapun ia, pada akhirnya, Nero memang harus menjalankan perusahaan.

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang