2. Menjadi Lajang Itu Pilihan

1K 240 38
                                    

Sudah hampir larut malam, dan Viola Aleyna Widjaya masih sibuk dengan pekerjaannya yang sengaja ia bawa pulang. Orang tuanya meminta dirinya untuk ke Jakarta minggu depan dan Ola -begitu ia biasa dipanggil, tidak bisa lagi menolaknya. Sudah terlalu banyak alasan yang ia utarakan pada ayah setiap kali pria itu meneleponnya, dan memintanya untuk kembali ke Indonesia.

Sesungguhnya, Ola memang tidak ingin pulang. Ia benar-benar jatuh cinta pada New York dan segala kesibukannya yang terasa tidak pernah berhenti. Seandainya boleh memilih, ia akan tetap berada di sini sampai dirinya bosan, yang itu berarti, akan terjadi dalam waktu yang amat sangat lama.

Sebagian besar gadis mungkin memimpikan negara-negara dengan kastil-kastil cantik seperti yang ada di negeri dongeng. Namun, tidak dengan Ola. Ia jatuh cinta dengan panasnya Florida, dengan hiruk pikuknya kota New York, dan dengan berbagai kreatifitas seni yang ada di Manhattan. Juga, suasana kota yang sangat ramai, yang seakan tidak pernah tidur.

Jadi, ketika ada kesempatan untuk bisa berada di negara adi kuasa itu untuk waktu yang lama, ia tidak akan melewatkannya. Meskipun artinya, ia harus merayu ayahnya habis-habisan untuk mengijinkannya tinggal di sini.

Ingatan Ola melayang pada ketika ia membawa kabar itu pada ayahnya di pagi hari Minggu yang cerah.

Flashback...

"Pokoknya aku mau kuliah di Columbia, Ayah! Ayah tahu kan ini artinya apa??"

Ola menggoyang-goyangkan surat yang baru ia terima pagi ini via email itu, di depan mata ayahnya yang sedang menikmati secangkir teh di halaman belakang rumah keluarga mereka yang asri.

Sang Ayah, Erlangga Saputra Widjaya, hanya mengembuskan napas, dan menatap putrinya dengan sorot mata lelah.

"Kenapa harus ke sana? Di Indonesia banyak universitas bagus dan bergengsi yang bisa kamu masuki. Atau ke Singapore. Atau Jepang. Atau di mana saja yang bisa ditempuh kurang dari enam jam. Amerika terlalu jauh, Sayang. Kita tidak punya satu famili pun di sana."

Ola cemberut menatap Ayahnya. "Dan aku harus mengabaikan undangan ini??" Sekali lagi Ola melambaikan surat itu di depan Ayahnya. "Tidak, Ayah. Hal itu sama saja seperti membuang sepotong daging kualitas terbaik hanya untuk memilih telur ayam."

"Terlalu banyak makan daging akan membuatmu terkena kolesterol."

"Terlalu banyak makan telur ayam juga bisa membuat bisulan. Aku tidak mau tahu, aku harus kuliah di Columbia. Titik!"

Jadi ceritanya, pagi ini Ola menerima email dari Universitas Columbia di New York. Beberapa waktu lalu, ia dan beberapa temannya di sekolah mengikuti program penerimaan mahasiswa baru untuk universitas bergengsi tersebut, dan ternyata, ia satu-satunya yang lolos. Surat itu mengatakan bahwa ia harus segera pergi ke New York dalam dua minggu untuk tahap tes selanjutnya.

Bagi Ola, ini merupakan kesempatan besar. Terlebih ia memang sangat ingin melanjutkan kuliah di Amerika sejak dulu. Ia sudah jatuh cinta dengan negara itu sejak diajak Ayah dan Bundanya ke sana ketika berumur lima tahun. New York baginya adalah sebuah jalan untuk mimpinya berdiri sendiri di atas kedua kakinya tanpa bayang-bayang nama besar keluarga Widjaya.

Tentu saja ia tidak mengatakan itu kepada keluarganya. Ia akan berdalih itu demi masa depan yayasan sekolah mereka. Jika tidak, ia tidak akan pernah diijinkan untuk pergi.

"Australia saja yang lebih dekat. Di sana juga banyak ..."

"Columbia, atau aku tidak akan melanjutkan kuliah."

"Viola ..."

Ola menaruh kertas itu di meja di hadapan ayahnya, dan berderap pergi. Mendapat ijin ayah adalah satu hal yang lumayan sulit untuk didapatkan. Ayahnya adalah tipikal dari kebanyakan ayah yang tidak ingin anak gadis satu-satunya itu pergi jauh dari rumah.

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang