Nero menatap kepergian Viola dan bantingan pintu wanita itu dengan amarah yang membara. Viola jelas sangat sombong dengan dirinya sendiri. Sejak kapan manusia yang ditakdirkan sebagai makhluk sosial itu bisa melakukan semuanya sendirian? Wanita itu jelas-jelas sedang menunggu karma untuk kesombongannya.
Sambil menahan kesal, Nero berbalik menuju kamar yang disediakan untuknya. Sebagai anak dari pemegang saham di hotel ini, jelas ia akan mendapatkan satu suite room dan bukannya kamar biasa.
Namun, masalah muncul saat Nero menyadari bahwa ia belum diberikan kunci untuk membuka pintu tersebut. Saking marahnya, Viola pasti lupa dengan hal kecil itu, dan sekarang, ia terpaksa harus mengetuk pintu kamar wanita itu untuk meminta kuncinya.
Ia menghela napas antara merasa lelah dengan apa yang dilaluinya hari ini, juga keharusan untuk kembali bicara dengan wanita itu.
Viola pasti masih kesal padanya, dan begitu juga yang Nero rasakan sekarang. Sayangnya, ia tetap harus meminta kuncinya, atau pilihan kedua, dirinya harus turun dan meminta kunci cadangan. Itu jauh lebih malas lagi untuk dilakukannya.
Apa Nero sudah bilang bahwa ia benci terlalu banyak bicara dengan orang asing? Jika belum, ia akan mengatakannya sekarang. Ini bukan hari yang mudah baginya.
Dipaksa untuk menghadiri rapat yang sama sekali tidak pernah ia datangi, juga bertemu dengan orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya, bukankah sesuatu yang ingin dilakukannya dengan sukarela.
Akan tetapi, meskipun merasa tidak nyaman, Nero tahu apa yang bisa ia lakukan hanyalah mendengarkan dan memasang wajah penuh senyum di depan semua orang yang ia temui hari ini. Setidaknya, senyumnya sepadan dengan wajah puas dan bahagia orang-orang itu saat mengobrol dengannya.
Sekarang, apa yang ingin Nero lakukan hanyalah beristirahat dengan nyaman di kamar yang kemungkinan besar, super mewah ini, dan menyiapkan diri untuk menghadapi hari esok yang pasti akan lebih sibuk lagi dari hari ini.
Jadi, dengan enggan, Nero berbalik dan berjalan lambat-lambat menuju kamar tempat Viola tadi menghilang. Tangannya baru saja hendak mengetuk saat pintu terbuka begitu saja, dan wajah kesal Viola terlihat di depannya.
Tidak, Viola tidak lagi terlihat kesal. Wajahnya datar tanpa senyum, tetapi wanita itu tidak lagi terlihat marah, yang ajaibnya, juga membuat kekesalan Nero menguap begitu saja. Kenapa semudah ini?
"Kuncimu," kata Viola sambil menyerahkan kartu tipis berwarna emas padanya.
Nero menerimanya tanpa bicara, dan menyadari jika Viola hendak menutup pintu, lalu menahan pintu tersebut dengan tangannya sebelum ia membuka mulut.
"Maafkan aku," katanya pelan.
Kenapa ia harus minta maaf? Tanyakan saja alasannya pada bulan dan bintang, karena Nero sendiri juga tidak tahu kenapa dirinya harus minta maaf.
Oke, sebenarnya ia tahu, tetapi Nero tidak ingin mengakui bahwa apa yang ia katakan tadi salah. Ia benar, tetapi ternyata kebenaran itu membuat Viola marah dan tersinggung.
Viola menghela napas. "Sudah malam. Istirahatlah. Besok kau akan sangat sibuk."
Wanita itu kembali hendak menutup pintu, tetapi Nero lebih dulu meraih lengannya untuk menahan gerakan Viola. Satu yang ia tahu saat memegang kulit Viola untuk pertama kalinya itu adalah, bahwa kulit itu terasa sehalus sutra. Kulitnya juga begitu hangat, dan anehnya, Nero merasa tidak ingin melepaskannya.
Namun, sebelum ia sempat mengucapkan apapun atau menyadari hal lainnya, Viola menarik tangannya dengan cepat dan mundur satu langkah dari pintu seraya mengumamkan selamat malam, dan lagi-lagi, membanting pintu dengan keras di depan wajah Nero hingga ia harus menarik tangannya agar tidak terjepit.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Takes Two To Tango
Fiksi UmumUntuk yang mau baca PART LENGKAPnya bisa baca di KaryaKarsa ya! Mencintai seorang wanita yang lebih tua bukanlah impian Nero Ganendra Goldman. Terlebih, ia tidak ingin jatuh cinta lagi setelah cinta tak terbalasnya selama bertahun-tahun. Akan tetapi...