41. Kesepakatan Damai

300 98 11
                                    

Ola bangun pagi itu dan berharap akan menemukan kopi yang enak untuk meredakan sakit kepalanya. Entah mengapa, ia terbangun dengan kepala yang berdentam-dentam. Ia tidak bisa tidur semalam, dan baru bisa terlelap sekitar pukul tiga dini hari.

Itupun bukan tidur yang nyenyak karena Ola bermimpi. Sebuah mimpi buruk yang dulu selalu menghantuinya dan tidak bisa membuatnya tidur.

Sudah lama semenjak dirinya pindah dari California dan tidak lagi mengalami mimpi buruk itu. Ia tidak menyangka jika mimpi itu akan kembali sekarang. Mungkin itu terjadi karena ia sedang terlalu lelah dan emosi dengan apa yang terjadi semalam.

Sayangnya, harapan untuk mendapatkan kopi nikmat itu sama sekali tidak menjadi kenyataan. Ia sudah mengernyit saat mencium aroma kopi instan di dapur, dan langsung menolak dengan tegas saat Damar menawarkan cangkir itu kepadanya. Aromanya terlalu manis, dan ia sama sekali tidak bisa meminum itu di saat kepalanya pusing seperti ini.

Ketika membuka lemari dapur, ia mengerang ketika yang ditemukannya hanyalah berenteng-renteng kopi instan dengan gula yang sudah disatukan dalam bungkus plastik itu. Serius, bagaimana orang bisa menikmati minuman itu?

"Tidak punya kopi murni?" tanya Ola setelah membuka semua lemari penyimpanan dan tidak menemukan apa yang ia cari. Damar benar-benar kacau untuk urusan perdapuran.

Damar menggeleng. "Ada teh kalau lo mau."

Teh? Damar menawarkannya minum teh di pagi hari? Oh, c'mon, dia bukan Ratu Inggris!

Menyadari tidak akan mendapatkan yang ia inginkan, Ola membuka kulkas dan berharap bisa memasak untuk sarapan. Jika tidak bisa mendapatkan kopi yang nikmat, maka sarapan lezat akan membuatnya sedikit lebih baik. Mungkin roti lapis dengan ayam suwir, telur, juga sosis goreng.

Namun, lagi-lagi Ola mengerang saat melihat isi kulkas Damar yang begitu bersih. Lampunya bahkan bersinar begitu terang karena bersihnya kulkas itu. Kulkas besar berpintu banyak itu hanya dipenuhi berbotol-botol air mineral. Bahkan tidak ada susu dan telur sebagai bahan dasar manusia untuk bertahan hidup.

"Bagaimana kau bisa bertahan hidup dengan semua ini, Dam?" Ola menunjuk kulkas itu dengan sedikit emosi. Terlebih, kepalanya semakin terasa nyeri sekarang.

Damar menatapnya sambil cemberut. "Jangan bicara dengan bahasa Inggris padaku, dasar tukang pamer."

Ola memutar bola mata. Ia memang lebih sering berbahasa Inggris semenjak pindah ke Amerika hingga kadang dirinya lupa jika saat ini tidak sedang berada di New York.

"Serius? Air putih? Kamu diet atau bagaimana?"

"Gue juga baru pindah kemari kalau lo lupa," sahut Damar ketus.

Otak Ola berputar dan akhirnya ingat kenapa kulkas itu tampak seperti kulkas baru yang tidak pernah tersentuh.

"Apa Muti menginap di sini?" matanya melirik pintu kamar Damar yang tertutup rapat.

Tadi malam, ia tidak bertemu siapapun saat menuju ke kamar yang ditempatinya, tetapi ia tahu jika Damar sudah pulang dari cahaya yang terlihat di bawah pintu kamar utama.

"Enggaklah! Gue anter dia pulang."

Jika Damar tidak menjemputnya, apa Muti akan tetap menginap di rumah Nero?

Mengingat pria itu membuat Ola meraih ponsel yang ada di kantong celana pendeknya. Celana itu milik Damar tentu saja karena ia tidak membawa apapun. Entah kapan Damar meletakkannya, tetapi saat Ola sampai, pakaian tersebut sudah ada di atas tempat tidurnya.

Terbiasa dengan panggilan pekerjaan membuat Ola selalu membawa ponslenya ke manapun. Ia tidak ingin panggilan penting apapun terlewat. Ia mengabaikan semua pesan dari keluarganya, lalu mengirim pesan pada Nero dan berkata jika dirinya akan ke kafe nanti. Ia harap pria itu sudah bangun.

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang