43. Pertemuan

345 102 7
                                    

Ola setuju untuk kembali tinggal di rumah lagi setelah 'perdamaiannya' dengan Opa, tetapi ia menolak saat mereka mengajaknya pulang bersama.

Ia masih butuh kopi yang lezat, dan juga belum mengabari sama sekali tentang keterlambatannya pada Nero, dari janji yang dibuatnya sendiri itu. Nero pasti kecewa karena ia tidak memberi kabar.

Saat mengirim pesan meminta maaf, Nero tidak membaca maupun membalasnya yang membuat Ola menjadi sedikit panik.

Oke, ia tidak panik apalagi karena seorang pria. Ia mungkin hanya...khawatir jika Nero kesal dan menganggapnya tidak bisa menepati janji?

Jadi, setelah mandi dan memakai lagi baju yang semalam dipakainya, Ola meluncurkan mobilnya ke kafe Nero.

Tidak ada waktu untuk mampir ke toko dan membeli pakaian ganti. Ia tidak mau Nero menganggapnya sebagai seseorang yang suka ingkar janji.

Namun, ketika memasuki kafe yang ramai itu, Ola tidak bisa menemukan Nero di manapun di ruangan yang luas itu.

Ketika ia mendongak lantai dua di mana kantor Nero berada, pintu kacanya tertutup hingga membuat Ola harus menebak-nebak pria itu ada di sana atau tidak.

"Hai, Mbak Ola!" sapa Mita, pegawai Nero yang baru saja membereskan meja yang ditinggal pelanggan.

Ola tersenyum kepada gadis muda itu, dan sedikit bersyukur karena Robby tidak ada di balik meja baristanya. Hari ini, pemuda itu pasti masuk shift malam lagi, juga semua pegawai lainnya yang kemarin bertugas di malam hari. Ia tidak ingin Robby dan yang lainnya melihatnya dengan pakaian yang sama.

"Mita, Nero ada di atas?"

Gadis itu mengerutkan keningnya sejenak sebelum menggeleng. "Tadi ke sini, Mbak. Nggak tahu nungguin siapa soalnya cuma duduk di situ aja." Mita menunjuk bangku dekat jendela yang sering menjadi tempat Ola duduk.

"Dan sekarang?"

"Mas Nero pergi gitu aja. Nggak bilang apa-apa."

Ola menghela napas. Apa Nero marah padanya? Haruskah Ola mendatangi rumahnya sekarang? Namun, bagaimana jika Nero tidak mau menemuinya?

"Mbak mau pesenan yang biasa?"

Pikiran Ola teralihkan oleh pertanyaan Mita, dan ia mengangguk, lalu duduk di bangku yang tadi ditempati Nero untuk menunggunya.

Kopi adalah yang paling ia butuhkan sekarang. Yang lainnya bisa menunggu. Termasuk, 'kewajibannya' untuk menelepon Radit dan mengajak pria itu bertemu.

Seharusnya Ola menolak saja saat Bunda mengusulkan hal itu. Namun, itu akan membuatnya terlihat seperti anak orang kaya yang manja dan banyak tingkah. Dan ia tidak ingin dilihat seperti itu karena Ola sama sekali tidak manja.

Mita datang dengan kopi yang biasa ia minum ketika Ola masih menimbang-nimbang untuk menelepon Radit atau Nero lebih dulu.

"Mita, apa Nero tampak marah saat pergi dari sini tadi?"

Apa seharusnya ia bertanya? Apa Mita bahkan memperhatikan ekspresi bosnya? Bagaimana jika gadis itu malah bertanya-tanya kenapa dirinya ingin tahu tentang hal tersebut?

"Emang Mas Nero bisa marah, Mbak?" balas Mita yang membuat Ola tercengang. "Wajah Mas Nero kan selalu datar, Mbak. Kami nggak bisa bedain kapan Mas Nero marah atau tidak kecuali jika dia mengomel."

Jawaban itu membuat Ola terkekeh. Ia lupa jika di sini, Nero dikenal sebagai Tuan Muka Datar dan begitu pandai menyembunyikan apapun yang ia rasakan.

"Kamu benar. Dia memang selalu berwajah datar. Terima kasih kopinya."

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang