68. Mimpi buruk Yang Belum Berakhir

273 82 6
                                    


“Aku rasa, sebaiknya kau di rumah saja hari ini,” kata Ola saat ia membukakan pintu untuk Nero pagi itu.

Pria itu sudah mandi dan memakai setelan yang tidak kalah keren dari yang biasa dipakainya setiap hari, tetapi hal itu tetap tidak bisa menghilangkan gurat kelelahan di wajah Nero. Saat ini yang Nero butuhkan hanya istirahat, bukan pergi ke kantor.

“Aku baik-baik saja. Kita ada rapat hari ini untuk persiapan cabang baru di Newark.”

Nero mulai terdengar seperti James, dan Ola tidak suka itu. Dengan James, mungkin ia tidak memiliki hak untuk mengatakan apapun, tetapi dengan Nero, hubungan  mereka jauh lebih dari sekedar atasan dan bawahan. Mereka adalah teman, dan untuk itu, ia berhak memberikan saran terbaik bagi pria itu kan?

“Aku dan Stevan bisa mengatasinya seperti yang selama ini kami lakukan sebelum ada dirimu. Kau jelas-jelas kelelahan. Jangan paksakan dirimu.”

Ola sedikit merasa bersalah. Keadaan Nero yang seperti ini adalah karena dirinya. Jika Nero tidak pergi ke san Quentin dalam satu hari pulang pergi, tidak terjaga semalaman karena menungguinya, Nero pasti akan memiliki waktu istirahatnya.

Nero menghela napas, tetapi masih menatapnya dengan keras kepala, dan Ola tahu jika itu adalah pertanda bahwa pria itu tidak akan menyerah dengan mudah.

“Sekarang kau harus mulai membiasakan diri bahwa ada aku di kantor.”

Bibir Ola kembali membentuk kerutan cemberut. “Aku hanya tidak ingin kau jatuh sakit. Apa kau tahu jika terlalu sering begadang bisa melemahkan otak dan mempercepat kematian?”

Alis Nero terangkat santai saat mendengar itu. “Lihat siapa yang bicara seperti itu? Miss Aleyna si gila kerja. Seakan kau tidak pernah begadang saja.”

Jika dilanjutkan mereka pasti akan berdebat di depan pintu ini sampai Negara api menyerang. Nero tidak akan menyerah begitu saja untuk diam di rumah dan beristirahat seperti yang ia usulkan. Pria itu sama keras kepalanya seperti dirinya.

“Kalau begitu, berikan kunci mobilmu.” Ola mengulurkan tangannya di hadapan Nero.

“Bilang saja itu hanya alasan agar kau menyetir mobilku lagi,” gerutu pria itu, tetapi ia merogoh saku celananya, dan meletakkan kunci Aston Martin itu di atas telapak tangan Ola.

Ola tertawa penuh kemenangan saat ia menutup pintu rumahnya. Itu juga alasan lainnya. Ia beranjak ke lift, tetapi kembali menoleh saat melihat Nero masih berdiri di depan pintu unitnya.

“Ada apa?”

“Tidak ada sarapan atau bekal makan siang?” Tanya pria itu sambil cemberut.

“Kita sudah sarapan tadi,” ucap Ola dengan kening berkerut.

Nero sudah menghabiskan tiga tumpuk waffle sebelum akhirnya ia pamit pulang untuk mandi dan bersiap-siap ke kantor. Apa nafsu makan Nero memang selalu sebanyak itu?

“Dan makan siang? Tidak ada apapun yang kau bawa?”

Kali ini Ola tertawa melihat ekspresi Nero yang tampak merana itu. Pria itu benar-benar terlihat seperti anak muda berusia dua puluh empat ketika sedang merajuk seperti itu.

Kadang, ia lupa jika Nero jauh lebih muda darinya. Nero selalu bersikap lebih tua dari usianya yang sebenarnya.

“Ada banyak restoran yang bisa kita pesan untuk makan. Berhenti merajuk, kau presiden direktur sekarang.”

Ola kembali melangkah, dan ia terkekeh saat mendengar langkah menghentak-hentak Nero di belakangnya.

Bagaimana dulu ia bisa begitu menikmati hidupnya yang sepi dan sendiri? Hanya memiliki seorang teman, dan tetangga, saja, sudah membuatnya tertawa lebih banyak daripada waktu yang ia habiskan di New York.

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang