47. Sebuah Janji

322 100 6
                                    

"Kamu mau teh atau kopi?" tanya Violet sambil menghampiri pantry kecil di sudut kantor.

"Tidak, terima kasih, Bu," tolak Nero dengan sopan. Ia tidak akan bisa minum apapun bahkan sekedar air putih.

Duduk di sini membuatnya merasa gugup. Ia menunggu hingga Violet selesai membuat teh untuknya dan suaminya, dan Erlangga bergabung di sofa.

"Ada hal penting apa yang membuatmu datang kemari pagi-pagi?' tanya Erlangga setelah menyesap sedikit tehnya. Pria itu duduk di samping istrinya dengan satu tangan menggenggam tangan Violet.

Itu adalah hal kecil dari banyaknya sentuhan kasih sayang mereka di muka umum.

Erlangga tidak pernah malu untuk menunjukkan kepada seluruh dunia bagaimana ia begitu mencintai istrinya. Dan hal itu tidak pernah berubah sejak Nero mengenal mereka berdua, hingga detik ini.

Memiliki seseorang yang kau cintai dan mencintaimu adalah sebuah keberuntungan terbesar.

"Nero?"

Suara lembt Violet kembali menembus kabut lamunannya, dan ia segera mengulurkan amplop yang dipegangnya ke arah Erlangga.

Tanpa bicara, Erlangga meraih amplop itu, membacanya berdua dengan Violet, dan kemudian, kedua orang itu berpandangan setelah selesai membacanya.

"Kamu ingin mengundurkan diri karena alasan pribadi?" tanya Erlangga kemudian.

Nero mengangguk. Dalam suratnya, ia memang tidak menjelaskan secara detail alasannya.

"Ada satu hal yang selama ini tidak kalian ketahui tentang diri saya," ucapnya kemudian. "Saya bukannya ingin menyembunyikan sesuatu tentang keluarga saya, tetapi sebelum ini, saya memang tidak merasa perlu untuk menjelaskannya pada siapapun."

"Dan sekarang kamu ingin menjelaskannya pada kami?"

Ia menatap pada Violet yang menatapnya dengan pandangan keibuan itu, dan mengangguk.

Betapa beruntungnya Viola karena memiliki tatapan penuh kasih sayang dari seorang ibu seperti itu. Jika dirinya menjadi Viola, Nero mungkin tidak akan pernah memilih untuk pergi dari rumah dan hidup sendirian di negara yang asing.

"Hubungan saya dan ayah kandung saya bermasalah sejak dulu," kata Nero pelan untuk memulai ceritanya. "Kami berselisih karena sesuatu hal, yang membuat saya berakhir di negara ini."

"Kamu bilang padaku saat mengajukan cuti, bahwa ayahmu mengalami kecelakaan."

"Benar. Jatuh dari kuda. Kondisinya sudah jauh lebih baik sekarang karena ia sudah melakukan banyak terapi, tetapi..."

Nero berhenti sejenak dan menatap dua orang itu tepat di mata mereka secara bergantian, sebelum kembali fokus pada Erlangga.

"Keadaan Dad tidak akan sama lagi. Ia tidak akan bisa bekerja seperti dulu lagi, dan sebagai anak satu-satunya..."

"Kamu wajib menjaganya." Erlangga menyelesaikan perkataannya meskipun itu sama sekali bukan sesuatu yang akan dikatakan Nero.

"Anda benar, tetapi tidak hanya itu. Ayah saya memiliki beberapa perusahaan yang selama dikerjakannya, dan saya..."

"Perusahaan?" tanya Erlangga dengan kening berkerut.

Ia memandang bergantian antara Nero dan kertas yang masih dipegangnya, yang menampilkan nama lengkap Nero, sebelum akhirnya pria itu tampak menyadari sesuatu.

"Ayahmu pemilik Goldman Company di New York?"

Nero mengangguk.

"Tempat di mana putriku bekerja di sana?"

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang