36. Alarm Berbahaya

331 94 7
                                    

Rasanya menyakitkan. Begitu sakitnya hingga air mata yang sejak tadi berdesakan ingin keluar itu sama sekali tidak mau mengalir. Lehernya terasa begitu sakit, tetapi tidak ada yang bisa Ola lakukan untuk menghilangkannya.

Ia pulang berjalan kaki ke rumahnya yang tidak begitu jauh dari rumah Opa, dan langsung menuju garasi. Ia tidak punya mobil sendiri di sini, tetapi Ola bisa mengendarai kendaraan apapun yang ada di garasi, dan itulah yang dilakukannya sekarang.

Ola meraih remote dari laci, menyalakannya secara sembarangan, dan mendengar suara dari sedan milik ibunya. Bukan pilihan yang begitu bagus untuk berkendara dengan kecepatan tinggi, tetapi ia tidak ingin mencari kunci lain dan membuang waktunya. Siapa saja bisa segera datang dan menyusulnya.

Biasanya, ia akan menyalurkan kemarahannya dengan bekerja. Akan tetapi, berhubung ia tidak bisa bekerja di sini sekarang, maka mengebut mungkin bisa menjadi jawabannya.

Sayangnya, itu sama sekali tidak terjadi karena jalanan Jakarta yang begitu padat di malam ini. Ini adalah hari Jumat. Beberapa orang mungkin sedang memulai akhir pekan mereka dengan lebih cepat, dan beberapa lagi ingin segera sampai ke rumah setelah seharian lelah bekerja.

Ola mengumpat keras saat mobil terjebak di tengah lautan kendaraan yang saling celah untuk menerobos. Ia tidak sering mengumpat, tetapi jika diperlukan, itu akan muncul begitu saja dari mulutnya.

Kemacetan ini hanya menambah daftar alasan kenapa ia tidak cocok berada di sini. Terjebak macet di New York dan Jakarta nyatanya begitu berbeda. Atau mungkin karena suasana hatinya yang sedang tidak baik sekarang?

Ponsel Ola yang berada di kursi sampingnya, sejak tadi bergetar dalam jeda yang tidak terlalu lama. Damar, ayah, dan juga bunda, meneleponnya bergantian, mengirim pesan, tetapi Ola sama sekali tidak memiliki keinginan untuk bicara dengan mereka. Ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan mereka.

Seandainya saja Damar tidak ambil bagian dalam kejadian ini, mungkin Ola bisa mengemasi pakaiannya dan tinggal di apartemen Damar untuk sementara. Pria itu menghadapi masalahnya sendiri dengan Muti dan Fuyumi, dan tadi sore, memilih untuk keluar dari rumah.

Jika bukan karena Opa memaksa, Damar juga tidak akan datang untuk makan malam. Beberapa hari lalu, Opa jatuh dari tempat tidur, dan kondisi tersebut membuat semua orang menuruti apapun yang Opa inginkan. Kecuali dirinya tentu saja, yang menolak untuk menemui Radit.

Ola tidak pernah membenci Opa, tetapi seharusnya pria itu tidak memaksakan apapun padanya. Seharusnya, dengan apa yang pernah terjadi pada Bunda dan Ayah dulu, Opa belajar untuk tidak lagi memaksakan kehendaknya. Memangnya siapa Opa hingga bisa menentukan masa depan seseorang?

Jangan hanya karena kesehatannya yang akhir-akhir ini tidak baik, Opa bisa bebas memaksa orang untuk menuruti apapun yang diinginkannya. Itu sangat tidak adil.

Ola terus menyetir, dan bersyukur kemacetan sudah terurai hingga ia bisa berkendara dengan jauh lebih cepat, meskipun jelas masih tidak bisa mengebut. Jalanan di Jakarta saat akhir pekan dan jam pulang kerja, bukanlah tempat yang tepat untuk memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi.

Selain itu, Ola juga tidak ingin membuat masalah dengan ditangkap polisi karena SIM yang ia miliki adalah SIM Amerika, bukannya yang berlaku di negara ini. Jika sampai ditangkap polisi, akan panjang urusannya karena ia tahu proses hukum di negara ini masih sangat berbelit-belit.

Ola menjalankan mobilnya menuju satu-satunya tempat yang ingin ditujunya sekarang. Kafe milik Nero.Sudah beberapa kali ia ke sana, dan seperti yang Nero pernah katakan, tempat itu menyajikan kopi hampir seenak buatan Nero sendiri. Hampir. Buatan Nero masih tetap yang terbaik.

Ola cemberut saat memarkirkan mobilnya di halaman kafe. Kenapa ia harus merindukan Nero sekarang? Beberapa hari tanpa pria itu di sisinya, rasanya begitu berbeda. Seakan ada yang hilang dari dalam dirinya.

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang