73. Syarat Sang Ayah

226 83 14
                                    

Erlangga menatapnya dengan tatapan yang mungkin bisa membunuh Nero sekarang juga. Yah, Nero tahu, dengan kondisi Opa sekarang, juga fakta bahwa tiba-tiba Viola berkata ingin menikah, siapa saja pasti akan berpikir jika pernikahan mereka ini mungkin hanya lelucon semata. Apalagi, semua anggota keluarga Widjaya tahu bagaimana dulu perasaan Nero pada Muti. Mungkin mereka tidak menyangka jika perasaannya akan hilang secepat itu?

Ia sendiri juga tidak menyangka akan seperti ini. Namun, nyatanya, memang perasaannya kepada Muti telah hilang. Saat melihat gadis itu, Nero tidak merasakan apapun lagi. Apa yang ia pikirkan hanyalah Viola yang sedang berada di ruangan kakeknya, dan betapa Nero tidak sabar untuk menemuinya. Juga, ia sangat ingin berada di sisi Viola ketika wanita itu merasa begitu rapuh.

Sekarang, ia dan Viola ada di kantin rumah sakit yang cukup sepi. Duduk menghadap Violet dan Erlangga yang siap untuk melakukan persidangan. 

Violet mungkin jauh lebih tenang, tetapi tidak Erlangga. Pria itu seakan ingin mengulitinya hidup-hidup dengan tatapan lasernya. Bahkan jika menguliti tidak cukup, Nero yakin jika Erlangga akan dengan senang hati memutilasinya jika ia menemukan sedikit saja jejak lelucon di wajahnya.

Bagi Nero itu sangat wajar karena Viola adalah putri mereka satu-satunya. Dan dari yang Nero dengar, Erlangga memang sangat protektif terhadap putrinya itu. Ayah mana yang rela membiarkan putrinya hidup dengan pria sembarangan?

“Apa yang sedang kalian berdua rencanakan sebenarnya?” tanya Erlangga sambil menatap mereka bergantian. “Aku tahu kalian tidak akan melakukan ini tanpa bicara lebih dulu sebelumnya kan?”

Tangan Viola mengepal di pangkuannya, dan dengan refleks, Nero menggenggam tangan itu hingga membuat mata Erlangga semakin menyipit menatapnya.

“Sentuhan fisik tidak akan membuatku percaya jika kalian memang memiliki hubungan.”

“Ayah…”

“Saya mencintai putri Anda,” ucap Nero dengan tegas sebelum Viola menyelesaikan perkataannya.

Bagi Viola, itu mungkin terdengar sebagai akting, tetapi tidak bagi Nero. Ia memaknai setiap apa yang ia katakan. Ia memang belum pernah mengatakan hal tersebut pada Viola, dan Nero bisa merasakan betapa kagetnya Viola dari tegangnya jemari yang ada di genggaman Nero.

Namun, lebih baik seperti ini kan? Ia bisa mengakuinya kepada orang lain, dan Viola akan tetap menganggap itu hanya bagian dari akting yang mereka sepakati.

“Bukankah selama ini kamu mencintai Muti? Bagaimana mungkin perasaanmu yang sangat lama itu bisa hilang dengan mudahnya?” Lagi-lagi, Erlangga menatapnya dengan curiga. “Cinta tidak bisa hilang semudah itu.”

“Itu jika memang kita benar-benar mencintainya. Mungkin selama ini saya salah memaknai perasaan saya kepada Muti?”

Sebelum ia merasa yakin dengan perasaannya pada Viola, Nero tahu jika ia tidak akan pernah mampu mengatakan hal seperti ini. Namun, sekarang setelah ia menyakini hatinya, Nero menjadi sadar betapa berbedanya perasaan yang dimiliki pada Muti dan Viola.

“Dan bagaimana kamu bisa mengira bahwa apa yang kamu rasakan pada Viola adalah cinta yang sama sekali berbeda?”

“Jika Anda bertanya, saya juga tidak tahu jawabannya. Perasaan itu muncul begitu saja,” jawab Nero dengan bijak. “Saat itu saya masih muda dan egois. Sekarang, setelah semua yang terjadi, saya bisa meyakinkan Anda jika saya jauh lebih baik dari Nero yang pernah Anda kenal.”

Mata Erlangga kian menyipit seakan sedang memaknai setiap kata yang Nero ucapkan.

“Dan kamu,” tatapan Erlangga beralih ke putrinya, “kenapa bisa memutuskan semudah itu untuk menikah setelah mati-matian menolak? Di mana prinsip hidup lajang yang selama ini kamu agung-agungkan itu?”

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang