"Kau takut."
Viola membeku ketika mendengar perkataan itu. Mereka masih berada di dalam pesawat, beribu-ribu mil di atas permukaan laut, dan penerbangan ke Amerika masih akan berlangsung selama belasan jam lagi.
Sejak menaiki pesawat, tidak ada apapun yang wanita itu katakan padanya. Viola hanya duduk di sebelahnya, dan memandang keluar. Menatap awan-awan yang melayang di sekitar mereka.
Nero mencoba menunggu dengan sabar hingga wanita itu ingin bicara, tetapi setelah beberapa saat berlalu tanpa ada satu patah kata pun keluar dari bibir Viola, Nero tahu ia tidak bisa menunggu lagi.
"Tidak," jawab Viola singkat tanpa menoleh padanya.
Namun, meskipun berusaha untuk terlihat tegar, Nero tahu suara wanita itu gemetar. Viola jelas-jelas ketakutan, dan ia pikir, ini lebih dari sekedar ketakutan pada Radit.
Ada hal lain. Sebuah rahasia yang sedang Viola pendam. Rahasia yang, Nero yakin, tidak diketahui siapapun selain diri wanita itu sendiri.
"Viola, kita tidak berada di dekat keluargamu lagi. Tidak ada hal yang perlu kau sembunyikan dariku. Katakan saja yang sejujurnya."
Viola menoleh padanya dan melotot. "Sudah kubilang aku sama sekali tidak takut! Jangan berlagak seperti kau sangat mengenalku! Kau belum mengenalku terlalu lama untuk bisa menyimpulkan apa yang sedang kau lihat sekarang!"
Mulut Nero menganga mendengar ucapan ketus dan kasar itu. Selama ini, Viola selalu bicara blak-blakkan dan jujur, tetapi tidak pernah dengan nada sekasar itu. Hal tersebut hanya membuat Nero menyakini kebenarannya. Wanita ini memang tengah menyembunyikan sesuatu.
Tangan Nero terulur hendak menyentuh bahu Viola yang menegang, tetapi ia menurunkan tangannya yang sudah hampir menyentuhnya. Viola menatapnya dari balik jendela. Wajahnya masih terlihat kesal, tetapi tidak marah lagi, dan itu membuatnya tersenyum hingga Viola cemberut.
Senyumnya semakin lebar ketika akhirnya wanita itu menoleh padanya dengan tatapan galak yang selama ini selalu menjadi ciri khasnya.
"Damar benar, kau sedang memulai dramamu sendiri, Piggie Biggie. Kau terlihat seperti Muti ketika sedang ngambek."
Bibir Viola semakin cemberut sementara matanya menatap Nero sambil menyipit. "Aku tidak semanja dia yang menggantungkan hidupnya pada pria di sisinya."
Nero mengangguk setuju. "Aku tahu kau lebih kuat dari itu. Namun, sesekali menggantungkan hidupmu pada orang lain, tidak akan membuatmu terlihat lemah."
Viola menghela napas sambil menyandarkan kepalanya di kursi yang empuk. Mereka telah berganti pesawat setelah penerbangan dari Jakarta, dan sekarang berada di kabin first classhanya dengan mereka berdua berada di sana.
Walaupun hal itu membuat tempatnya duduk tidak terlalu dekat dengan Viola, tetapi setidaknya mereka berdua merasa sangat nyaman dalam penerbangan yang cukup jauh ini. Sebelumnya, Nero selalu memilih kelas bisnis, dan kadang ekonomi di setiap penerbangannya, tetapi sekarang itu tidak akan terjadi lagi. Terutama karena ia bukan lagi pria yang hidup hanya dari gajinya sebagai pustakawan sekolah dan pemilik kafe kecil.
"Dia tidak akan bisa melakukan apapun padaku," gumam Viola pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Kami terpisah benua, dan dia tidak tahu apa-apa tentang diriku."
Nero mengulurkan tangannya melewati pembatas tempat duduk mereka, kemudian meraih tangan Viola dalam genggamannya. Wanita itu tidak menolak, tetapi juga tidak membalas genggamannya.
"Ya, dia tidak akan bisa melakukan apapun padamu selama aku ada di sampingmu."
Ketegangan di tubuh Viola mengendur saat akhirnya wanita itu tertawa dan melepaskan tangannya dari genggaman Nero. Ia merasa kehilangan, tetapi Nero juga menyadari bahwa sentuhan fisik bukan sesuatu yang terlalu disukai oleh Viola.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Takes Two To Tango
General FictionUntuk yang mau baca PART LENGKAPnya bisa baca di KaryaKarsa ya! Mencintai seorang wanita yang lebih tua bukanlah impian Nero Ganendra Goldman. Terlebih, ia tidak ingin jatuh cinta lagi setelah cinta tak terbalasnya selama bertahun-tahun. Akan tetapi...