55. Rencana Makan Malam

299 88 8
                                    

Paman Stevan dan Shannon sepertinya benar-benar berniat membalas dendam saat melihat Nero muncul di kantor pagi itu. Seharusnya ia sudah curiga dengan senyum manis tetapi licik yang Shannon berikan padanya, dan sambutan berlebihan Paman Stevan. Nero mengira jika ia masih akan memiliki waktu bersantai sejenak sebelum serbuan dokumen dan laporan datang secara bersamaan begitu ia duduk di kursinya.

Namun, hingga waktu makan siang hanya menunjukkan waktu kurang dari beberapa menit lagi, ia masih tenggelam dalam berbagai laporan dan dokumen yang terus berdatangan. Apa menjadi seorang presiden direktur harus selalu sesibuk ini? Apa Nero akan mengalami hal ini sepanjang hidupnya?

Jika saja tidak ada Viola dalam hidupnya, di kantornya, Nero tahu jika ia akan mati muda dan tenggelam dalam pekerjaan yang tiada habisnya. Wanita itu, entah bagaimana, telah membuatnya memandang kesibukannya ini dengan cara yang lain. Ada hiburan yang diberikan wanita itu di sela kesibukannya.

Juga, dengan mengalami ini sendiri, setidaknya, Nero jadi tahu sesibuk apa Dad selama ini, dan betapa ia menjadi anak yang sangat tidak peduli pada apa yang telah terjadi. Hidupnya hanya dihabiskan untuk berprasangka kepada Dad hingga ia menutup mata pada kenyataan jika Dad membutuhkan dirinya.

Rasa bersalah itu mungkin tidak akan pernah pergi dari diri Nero. Ungkapan yang menyatakan tentang hargailah apa yang ada di hadapanmu sebelum semua itu pergi, ternyata memang benar adanya. Nero baru menyadari jika dirinya menyayangi Dad walaupun selama ini kebencian yang ia tanamkan pada dirinya sendiri, menutupi hal tersebut. Ia bersyukur Tuhan masih memberinya kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan dengan Dad.

"Tamumu sudah datang," ucap Shannon sambil tersenyum lebar dan membuka pintu.

Nero mendongak dari pekerjaannya dan merasa agak bias. Ia sudah bertemu Viola tadi pagi, dan melihat apa yang dikenakan wanita itu. Namun, bahkan saat sekarang ia melihat Viola masuk ke ruangannya dan tersenyum, Nero merasa tubuhnya kaku. Ia tidak mampu bergerak apalagi berpaling hingga suara Shannon dan dehaman kerasnya, membuat Nero berpaling pada wanita paruh baya itu dan cemberut.

"Aku akan keluar makan siang kalau begitu. Selamat menikmati waktu santai kalian." Wanita itu melayangkan pandangan dari meja Nero yang penuh ke wajahnya. "Tinggalkan meja itu dan makanlah sekarang."

"Kau yang membuatku bekerja sekeras ini."

Shannon hanya tertawa keras sebelum menutup pintu di belakangnya.

"Wanita itu benar-benar monster kejam. Seharusnya aku memecatnya," kata Nero sambil bangkit dari duduknya.

"Dia sangat keren. Aku menyukainya."

Viola terkekeh saat mengatakan itu sambil berjalan menuju bar kecil di sudut ruang kerja Nero. Kotak makan yang dibawakan wanita itu masih ada di sana. Ia meraihnya dan membawa ke sofa sementara Nero bersiap untuk membuat kopi.

"Kau menyukainya karena dia kejam?"

Kekehan terdengar lagi hingga membuat Nero ikut tersenyum. Bagaimana bisa kekehan kecil membuatnya merasa bahagia?

"Shannon hebat dalam pekerjaannya, dan dia satu-satunya yang berani mengomeli ayahmu jika terlambat makan. Mungkin sekarang dia harus melakukan tugas itu pada kalian berdua. Ya kan?"

Ia menggiling kopi sambil membayangkan mata hijau Shannon yang menyala seperti monster saat dirinya marah dan mengomeli Nero karena lupa makan atau cemilan saat sangat sibuk bekerja.

Hanya saja, semua omelan dan perhatian Shannon itu mengingatkannya bahwa selama ini, Nero tidak pernah mendapatkan perhatian seperti itu. Dan anehnya, semua omelan Shannon membuatnya merasakan seperti apa memiliki ibu.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan."

Nero menoleh saat mendengar ucapan itu, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Mesin kopi selesai bekerja, kemudian ia meraih cangkir dan membawanya ke meja. Viola menerimanya dengan mata berbinar sebelum meminumnya.

It Takes Two To TangoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang