ABOUT US - 40

207 5 0
                                    




.

Berminggu-minggu telah berlalu, dan minggu ini juga Levi merayakan kelulusannya. Ya, Laki-laki itu lulus dari sekolahnya, dengan nilai yang sangat-sangat bagus.

Levi sudah merencanakan untuk melanjutkan kejenjang perkuliahan, ia sudah memikirkan dengan mantap akan berkuliah dengan jurusan kedokteran. Dengan nilai memuaskan yang Levi dapat, ia mendapatkan beasiswa untuk pergi ke Singapura. Tapi, Levi belum mengatakan nya kepada kedua orang tuanya, kalau dirinya mendapatkan beasiswa. Levi ragu-ragu ingin mengatakannya kepada Samuel dan Pamela, ia takut orang tuanya tidak mengizinkannya apalagi berada di Singapura.

Tapi, keputusannya sudah bulat, mau tak mau ia harus mengatakannya. Seperti sekarang ini, Samuel, Pamela, Levi dan Lexa, kini tengah makan siang di meja makan.

Samuel mendapatkan cuti selama 2 hari, Lexa libur setelah ujian kenaikan kelas, dan Levi sudah tidak berangkat lagi karena sudah lulus.

Levi menatap Samuel dan Pamela secara bergantian, mulutnya kaku untuk berbicara. Ia ingin mengatakan kepada kedua orang tuanya kalau dirinya mendapatkan beasiswa ke Singapura, tapi rasanya sangat susah.

Levi menundukkan kepalanya, lalu mengambil sesendok nasi kedalam mulutnya. Pamela yang mengatahui gerak-gerik Levi, menatapnya.

"Kamu kenapa Levi?" Tanya Pamela.

Levi mendongakkan kepalanya menatap Pamela.

"Mmmm ... Levii  ... " Levi menghentikan ucapannya, membuat Pamela menyerngit.

Samuel menatap Levi, "ada apa Levi? Katakan aja."

Levi bergantian memandang Samuel. "Levi ... Dapat beasiswa ke Singapura ma, pa."

Levi melihat jelas kedua orang tuanya menghentikan kegiatan makannya itu, lalu saling berpandang-pandangan. Lexa, gadis itu kaget dengan perkataan Levi.

Dalam hati, Levi berdoa agar orang tuanya mengizinkannya.

Samuel memandang Levi, "kamu serius mau kuliah?"

Levi mengangguk. "Iya."

"Serius?"

"Serius pa."

Samuel menatap serius anak laki-laki yang itu, lalu bibirnya membentuk lengkungan disana.

"Itu terserah kamu, kalo kamu benar-benar serius, papa nggak keberatan. Iya kan ma?"

Pamela tersenyum, "iya, mama akan selalu dukung kamu, yang penting kamu benar-benar serius melakukannya."

Samuel dan Pamela tak menyangka kalau Levi ingin melanjutkan sekolahnya. Karena sejak dulu, Levi tidak memiliki motivasi dalam hidupnya, bahkan sejak dulu ia tak memiliki cita-cita. Tapi, apapun keputusan anaknya itu, mereka akan tetap selalu mendukungnya.

Levi tersenyun lebar, ia tak menyangka jika kedua orang tuanya akan menanggapinya seperti itu, "Makasih Ma, pa."

Tanpa mereka sadari, gadis yang sedari tadi mendengar pembicaraan mereka, terduduk lesu dengan hanya memainkan sendoknya saja sedari tadi. Lexa, gadis itu terdiam sejak Levi, kakaknya mengatakan bahwa ia mendapatkan beasiswa di Singapura. Entah lah, dia tidak tahu harus senang atau sedih.

.

Seorang gadis dengan tangan yang memegang segelas susu coklat yang tinggal sedikit itu tengah berada di balkon lantai atas. Menatap langit sambil melamun, gadis itu tengah memikirkan tentang perkataan kakak laki-laki nya yang akan kuliah di Singapura. Ya, gadis itu Galexa, sudah hampir 1 jam ia disini.

Ia tidak tahu, kenapa ia merasa tidak rela jika Levi kuliah di Singapura. Gadis itu menghela nafasnya dengan berat, lalu membalikkan badannya untuk pergi kekamar. Namun, tubuhnya terlonjat kaget ketika mendapati sesosok Levi yang tengah bersandar di pintu balkon.

Lexa memegang dadanya, "aduh, kakak ngapain disitu? Bikin kaget aja."

Levi tersenyum kecil, "lagian kamu ngapain disitu dari tadi, hampir 1 jam loh." Levi berjalan melewati Lexa, lalu menatap langit.

"Kok kak Levi tau aku disini hampir 1 jam?, " Tanya lexa, "hayoo, kakak merhatiin aku dari tadi ya?." Lexa menggoda Levi sambil menunjuk-nunjuk Levi.

Tanpa menoleh kearah Lexa, Levi tersenyum. Lexa mengikuti arah pandang Levi, yaitu langit, perlahan senyuman di wajahnya memudar dengan perlahan.

Levi menoleh kearah Lexa, gadis itu dari tadi terlihat murung. "Kamu mikirin apa? Murung gitu."

Lexa menoleh sebentar, lalu menundukkan wajahnya. "Kak Levi ... Beneran mau ke Singapura?"

Laki-laki itu menatap Lexa, nada bicaranya seperti ia tak mau jika dirinya pergi. Levi merangkul pundak lexa, "kenapa? Kamu nggak mau kalo kakak kuliah di Singapura?"

Lexa menggeleng, ia bukannya tidak mau Levi kuliah disana, hanya saja tempat nya jauh. Apalagi kuliah membutuhkan beberapa tahun, sudah pasti dirinya tidak akan bertemu dengan kakaknya selama beberapa tahun.

"Kalo kakak disana, kan kita bisa video call an, lagian cuma beberapa tahun doang disana."

Seperti membaca pikiran Lexa, Levi mencoba untuk memastikan adiknya itu, kalau mereka bisa ngobrol lewat hp.
Levi merogoh saku celananya, dan mengambil sesuatu dari sana.

Levi menyodorkan tangannya, dan berhasil membuat Lexa membuka mulutnya terkejut. Lexa mengambil benda tersebut dari tangan Levi, matanya membulat sempurna ketika tahu, benda yang selama ini ia cari ada di sini sekarang.

"Ka-kak Levi, nemu kalung ini dimana?" Tanya Lexa masih terkejut.

Ya, benda yang kini Lexa pegang adalah sebuah kalung yang dulu pernah Levi beli untuk dirinya, dulu waktu ia kelas 6 SD, ia tak sengaja menghilangkannya, dan Lexa menangis selama 2 hari karena telah menghilangkan kalungnya.

"Di gudang, udah lama sih."

"Kok nggak kasih tau aku?"

"Kakak kira, kamu udah nggak butuh kalung itu, yaa jadinya kakak simpen."

"Kata siapa nggak butuh? Ini kan kalung dari kakak, mana mungkin aku buang gitu aja." Ucap Lexa sambil memanyunkan bibirnya.

Levi terkekeh, lalu mengambil alih kalung yang ada di tangan Lexa. "Sini, kakak pakein."

"Aku bisa sendiri tau!"

"Udah! Nurut aja." Levi membalikkan tubuh Lexa, dan kini tubuhnya membelakangi tubuh Levi.

Levi pun mulai memakaikannya di leher Lexa, Lexa hanya diam ketika Levi mulai memakaikannya kalung. Entah kenapa, posisi sekarang ini, membuat jantungnya berdegup lebih kencang.

"Udah." Levi tersenyum ketika ia selesai memasangkan kaling di leher Lexa.

Lexa membalikkan badannya, lalu memegang liontin kalung yang kini sudah menggantung di lehernya.

"Lexa? Sini bentar! Bantu mama. "

Suara Pamela dari bawah, membuat Lexa menoleh.

"Iya maa." Lexa pun berjalan untuk kebawah dan meninggalkan Levi sendirian di atas balkon.

Levi memandang punggung Lexa sampai tak terlihat, lalu mulai menatap langit kembali.


.

Like & comment.

ABOUT US √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang