[ FOLLOW TERLEBIH DAHULU ]
[ SEBELEM MEMBACA ]
Alva Reano Afair. Anak tunggal dari keluarga Afair. Memiliki garis wajah yang terpahat sempurna dengan rahang tegas, hidung mancung, iris mata yang tajam bagaikan mata elang, alis tebal dan memili...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
FOLLOW DULU AKUN WP SAYA! BARU BISA BACA. .
♣♣♣
Belasan remaja laki-laki duduk sembarang di ruang tengah yang lumayan cukup luas. Mereka semua, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Braak
Gebrakan meja terdengar nyaring di dalam ruangan. "Bangsat! Satu cewe sama sekali ngga bisa gue andelin." ucapnya.
"Rencana lo udah gagal, sekarang mau gimana?"
Matanya menyorot tajam, tertera jelas kemarahan di dalamnya. Rencana yang selama ini dia susun matang-matang gagal total, orang suruhannya tidak bisa diandalkan kemampuannya. Harusnya, dia bertindak sendiri tanpa ada campur tangan oranglain. Apa harus, dia bertindak lebih jauh?
"Hai Ronald."
Ronald menengok ke arah sumber suara, tidak terkecuali belasan orang yang berada di dalam. Perempuan dengan seragam berbeda darinya dan yang lain, berdiri di ambang pintu dengan senyum-man lebarnya.
"Ngapain lo kesini? Ngga takut, gue apa-apain?" Ronald menatap tajam kehadirannya.
Kekehan keluar dari dalam mulutnya. "Harusnya lo bersikap lebih baik lagi ke gue. Karena gue bawa sesuatu buat lo." ucapnya.
Ronald menatap terkejut dengan kehadiran seseorang yang bisa dikatakan dengan keadaan yang cukup memprihatinkan. Mulutnya tersumbat kain, dan kedua tangannya terikat. Bercak darah keluar dari dahinya yang cukup terluka.
"Lo?"
"Buat kamu, sebagai gantinya. Jadiin aku pacar kamu." ucapnya tersenyum lebar.
♣♣♣
Hamparan warna jingga mulai menghiasi langit pada sore hari ini. Alva duduk termenung di atas rerumputan di dekat danau, danau yang pernah dirinya dan Ayla tempati untuk menghabiskan waktu bersama. Tangannya bertumpu pada kedua lututnya, matanya menatap kosong hamparan air danau yang berada di depannya.
"Berengsek. Lo berengsek Al!" tangannya terangkat memukul-mukul kepalanya sendiri. Rasa bersalah terus saja bergemuruh di dalam hatinya, tidak seharusnya Alva meninggalkan Ayla sendirian di halaman sekolah dengan keadaan yang tidak baik-baik saja. Bagaimanapun juga hubungannya dengan Ayla berakhir, karena kesalahpahaman yang dia buat sendiri.
"Maaf Ay."
Hembusan nafas keluar dari dalam mulutnya. Kekehan kecil mulai terdengar di tempat yang sepi itu. "Ay. Kita pernah sama-sama buat permintaan disini." kilasan memori melintas begitu saja di dalam kepalanya.
"Gue berharap kita terus bersama, itu permintaan gue." kekehan kembali terdengar saat Alva menghentikan kalimatnya. "Maaf Ay, gue ngga bisa tepatin permintaan itu." ucapnya.
Keputusan yang Alva buat untuk mengakhiri hubungannya bersama Ayla memang sangat berat. Berakhir, tidak pernah Alva pikirkan akan seperti ini. Hatinya ingin terus bersabar untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari Ayla, namun egonya juga tidak sabar akan penolakan yang terus Ayla berikan kepadanya. Akan ada masanya kata lelah terucap dari Alva, dan itu sudah terjadi belasan menit yang lalu saat Alva mengakhiri semuanya.