Prolog; The Beginning

682 223 62
                                    

Happy Reading!

.

.

.

Suara langkah kaki dengan sepatu hitam itu menggema di seluruh sudut ruangan. Langkah-langkahnya begitu dingin, seakan bisa membekukan lantai pualam itu.

Seorang sandera yang diikat hanya bisa duduk terdiam. Bola matanya membelalak was-was. Mulutnya terbekap kain putih lusuh. Rambutnya berantakan teracak-acak diselimuti debu. Tangannya yang berpasir sudah berlumuran darah. Di lengannya banyak luka pecutan gesper.

Seorang bersepatu hitam dengan kemeja biru tua itu berhenti, berdiri tepat di hadapan si sandera. Matanya menatap tajam. Andai saja ada apel di depan matanya, pastilah apel itu sudah habis terbelah dua.

Pria bermata tajam itu duduk di kursi besi.

"Open his mouth." Titah pria itu.

Salah seorang laki-laki berjas hitam di samping si sandera membuka bekapannya.

"Di mana tuanmu?" Pria itu bertanya. Pandangannya lurus ke hadapan si sandera.

Sang puan tak menjawab.

"Di mana tuanmu?" Tanya pria itu untuk yang kedua kalinya.

Si sandera tetap diam. Ia menggeleng, enggan menjawab.

Pria berjas berdiri dari kursinya. Ia berjalan mendekati sandera yang diikat itu. Si pria berjongkok. Menatap serius sang sandera dengan mata tajam, lalu menunjukkan jam tangan mahalnya.

"Tahukah kau berapa banyak waktuku yang terbuang hanya karenamu? Ayolah, berguna sedikit. Beritahu aku dimana tuanmu bersembunyi. Setelah itu akan kubiarkan kau selamat."

Pria berjas itu berusaha bernegosiasi dengan orang yang ia sandera.

Cuih!

Bukannya memberi jawaban, si sandera justru meludah. Pria berjas itu mengelap pipinya yang terkena air liur.

Bugh!

Pria berjas menonjok wajah sandera dengan pistolnya. Ia mengarahkan mulut pistolnya ke arah sandera. Matanya merah marah.

"Kuberi kau kesempatan terakhir. Di mana tuanmu?" Pria berjas bertanya untuk terakhir kalinya.

"Hanya pengawal bodoh yang bisa mengkhianati tuannya. Bahkan jika aku menjawabmu, aku akan tetap mati tertembak di sini." Sandera yang mengaku sebagai pengawal itu akhirnya menjawab.

Pipi kirinya lebam. Sebuah garis merah di pipinya mengalir darah segar. Bagian mulut pistol itu menggores pipinya.

Pria berjas yang berjongkok di depannya terkekeh keras.

"Hahaha. jadi, ceritanya kau adalah pengawal yang berbakti, heh?"

Si sandera kembali diam. Ia tak lagi menjawab perkataan pria di hadapannya. Pria itu berdiri. Berjalan mondar-mandir, berusaha mencari cara agar si keparat ini mau menjawab pertanyaannya.

Sudah khatam ribuan kali ia bertemu orang-orang yang seperti ini. Sulit. Pria itu terdiam. Baiklah, tidak ada cara lain. Bahkan milyaran kali ditanya pun, orang yang ia sandera ini takkan menjawab.

Sekali lagi Pria berjas itu menodongkan pistol ke kepala si sandera. Mata mereka saling bertatapan tajam. Mata mereka bicara tanpa kata pria berjas itu seolah memberi pilihan. Jawab atau mati.

Tapi bagi si sandera tidak semudah itu. Pilihan yang sebenarnya adalah mati atau tetap mati. Matanya memberi jawaban. Lebih baik terbunuh daripada menjawab.

Pria berjas itu mengangkat satu alisnya. Baiklah, semuanya selesai.

Dor!

.
.
.

The story will be started

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang