Negative Rhesus

202 111 33
                                    

͜✩ Jangan lupa buat komen, sekalian klik tombol bintangnya ya! Vote gratis kokk.
Don't do a plagiarism, i knew that your brain were better than me.

Happy Reading!

.

.

.

5 Juni 2023, Hôtel Paris Saint-Joseph.

Sirine ambulans terdengar nyaring berbunyi di depan pintu masuk rumah sakit. Pintu mobil terbuka, tiga orang perawat bergegas mendekat ke mobil. Tiga orang lain yang berada di dalam ambulans bergerak cepat menurunkan bangsal pasien, lalu berlari secepat mungkin sambil mendorong bangsal.

Di atas bangsal itu aku terbaring lemas tak berdaya. Darah segar masih tak henti-hentinya mengalir deras dari perut sebelah kananku. Perutku sudah terbalut kain kasa tebal yang sudah berubah warna menjadi merah. Pertolongan pertama itu meminimalisir keluarnya darahku lebih deras.

"Nona, kumohon bertahanlah, bertahanlah Nona..." Ten bergumam di sebelahku. Aku samar-samar mendengar suaranya.

Nebulizer* menempel di mulutku, memberikan oksigen yang cukup untuk kuhirup sedikit demi sedikit dengan sisa tenagaku. Bangsal rumah sakit meluncur cepat menuju ruang IGD. Ten masih dengan setia berlari sambil membantu para perawat mendorong bangsalku. Kemejanya berantakan, masih tersisa banyak rembesan darahku di baju putihnya. Jas hitam dengan lambang Triegornya sudah ia lepas saat sebelum aku dinaikkan ke ambulans.

*Nabulizer; alat bantu pernapasan, bisa berbentuk selang atau katup yang menutupi hidung dan mulut.

Pintu IGD terbuka lebar, para perawat mendorong masuk bangsalku ke dalam. Tanpa babibu, seorang dokter laki-laki dengan cepat menanganiku. Ia memerintahkan para perawat yang ada dengan tegas dengan bahasa Perancis kentalnya. Aku hanya mengerti satu-dua kata dari mereka.

Salah satu perawat menancapkan jarum infus tanganku, mengalirkan cairan infus ke darahku. Dia bergerak cepat di sekelilingku. Aku tidak tahu ia melakukan apa, hingga dia berseru tiba-tiba.

"Dokter, tanda vitalnya menurun! Anak ini mengalami pendarahan luar, ia kehabisan banyak cairan. Dagingnya terkoyak, darah terus mengalir. Aku khawatir organ vitalnya robek."

"Beri dia resusitasi cairan dulu sementara, 500cc!" Dokter itu balas berseru.

Detak jantungku melemah, gambar denyut nadiku di cardiac monitor melambat.

"Dokter! Denyut nadinya juga menurun, denyutnya dibawah 50!" Seorang perawat lain berseru. "48, 45, 43."

Dokter laki-laki itu bergegas mendekatiku. "Siapkan AED* segera! Nyalakan 128 Joule! Kita harus mempertahankan detak jantungnya."

*Automated External Defibrillator, alat kejut jantung.

Perawat lainnya mengangguk, dengan cepat ia bergerak. Alat defibrillator itu sudah berada di tangan sang dokter. Dokter laki-laki itu menggosok kedua bagian defibrillator, lalu menempelkannya di dadaku. Aliran listrik mengejutkan jantungku.

Nihil, tidak ada hasilnya. Detak jantungku masih menurun, tidak ada perkembangan.

"150 Joule!"

Sekali lagi alat AED itu menempel di dadaku. Badanku merespon kejutan listrik dari defibrillator, aku terhenyak ke atas. Ten yang berdiri dengan cemas sambil menggigit kukunya di samping bangsalku mendekat, ia berusaha meraih tanganku untuk ia genggam.

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang