Minareen

121 14 1
                                    

͜✩ Jangan lupa buat komen, sekalian klik tombol bintangnya ya! Vote gratis kokk.
Don't do a plagiarism, i knew that your brain were better than me.

Happy Reading!

.

.

.

Semuanya diam. Hening, tak ada yang bersuara. Barusan apa kata Papa tadi? Dé Triegor? Apakah Papa salah ucap? Ini kan, Ayah, nama belakangnya hanya Minareen.

"Senang bertemu denganmu, saudaraku." Ayah tersenyum, senyum meremehkan. Sedangkan Papa hanya diam tak bergeming.

Dan di sinilah aku mulai bisa menyusun ratusan puzzle yang berantakan. Ayah, nama aslinya adalah Matthew Minareen Dé Triegor. Ia satu-satunya anak Kakek Gill yang memiliki empat kata dalam namanya. Entah spesial atau memang begitu adanya, dan nama itu menurun padaku. Ayah adalah saudara kandung dari Papa. Matthew Minareen Dé Triegor, anak terakhir Kellen Dé Triegor yang menghilang.

Aku mulai memahami situasi ini, sebuah fakta baru tersusun di kepalaku. Namun aku tidak tahu apa alasannya Ayah menghilangkan dua nama belakangnya. Tapi aku yakin ada sesuatu yang terjadi dibalik terhapusnya nama itu. Bulu kudukku berdiri semua begitu memikirkan hal ini.

"Jadi dalang dari semua kejadian ini adalah kau, Matthew?" Papa berseru. Tatapannya tak kalah tajam dari Ayah, namun dari sana terlihat seberkas cahaya kesedihan.

Ayah tertawa keras. Suaranya menggema di setiap sudut gedung.

Papa menggeleng prihatin sambil berkata, "Kau melakukan semua ini untuk apa? Kau mengorbankan banyak orang, termasuk Kana dan anakku yang kau ambil!"

Tawa ayah tiba-tiba terhenti. Ia membanting batu seukuran kepalan tangan ke lantai gedung, membuatnya terpecah belah saking kerasnya. Entah sejak kapan Ayah memegang batu itu, yang jelas hal itu membuatku terkejut sambil menutup telinga.

Ayah melepas pegangan tangannya padaku. Lantas ia berjalan maju dua langkah.

"Banyak, tapi tak penting bagimu, bukan? Kau yang sudah merenggut banyak nyawa dariku, Mike Dé Triegor!" Ayah berseru kencang. Urat lehernya menonjol keluar. Tangannya mengepal kencang, matanya memerah, membuat auranya lebih menyeramkan lagi.

"Apa yang kuambil? Siapa?!" Papa balas berteriak dengan keras.

"Kau, Ayah, Baron. Kalian membunuhku! Kalian membunuh wanita yang kucintai, dan kalian membunuh anakku, ANAKKU!" Oktaf suara Ayah sudah mencapai puncak tertinggi pada kalimat terakhir.

Semua orang yang berada di lantai dua gedung ini terdiam. Atmosfer ruangan menjadi lebih mencekam dari sebelumnya. Aku membelalakkan mata lebar. Anak? Ayah masih punya anak lagi? Dan Papa membunuhnya? Mana mungkin?

"Siapa yang membunuhmu, Matt? Kau bahkan masih hidup. Dan anak mana yang kau maksud? Sekejam-kejamnya aku dan Baron, kami tidak pernah menyakiti wanita dan anak-anak!" Papa berseru membela diri. Ia bingung dengan apa yang Ayah maksud.

"Matthew Minareen Dé Triegor sudah mati! Aku bukan dia lagi. Dia lemah, tak tahu kebencian, tak tahu cara balas dendam. Aku adalah Matthew Minareen, Minareen!" Ayah berteriak kalap. Ia memukul-mukul dadanya, membuktikan bahwa ia adalah seorang Matthew Minareen.

"Kau pikir kau bukan penyebabnya? Ayah membunuh Artha karena dirimu! Kau, anak emasnya memberi masukan pada Ayah untuk membantai habis keluarga Artha. Kau memang tidak pernah menyentuh wanita manapun selain Natta, tapi karena dirimu lah alasan Ayah menembak mati Artha! Apa salah Artha? Dia hanya berlari ke samping ayahnya yang sedang berada dalam bahaya. Namun Ayah malah menembak mati keduanya.

"Saat aku menyusul Artha, kalian sama sekali tak menyadari keberadaanku. Sejak kecil aku tak pernah diperhatikan. Aku selalu dianggap tak ada, dianggap tak berharga, bukan bagian dari keluarga Triegor. Lalu dengan mudah aku mendekati tubuh Artha yang lemas berlumuran darah. Aku melihatnya masih bernapas walau satu-dua. Aku langsung memanggil ambulans, membawanya ke rumah sakit. Di sanalah Artha meninggalkanku sendirian pada saat berjalannya operasi. Aku tak sanggup menahan rasa kehilangan sendirian. Hingga akhirnya seorang dokter bedah wanita mendatangiku, mengelus punggungku dengan lembut. Ia menguatkan ku dengan kata-kata halusnya. Aku seperti melihat sosok Artha pada dirinya. Dan padanya lah aku menaruh hatiku seutuhnya untuk terakhir kali dalam hidupku. Kana, dia yang menjadi penopang beratnya batinku saat kalian membunuh perasaanku."

Ayah bercerita dengan suara bergetar. Sempat beberapa kali suaranya hilang-timbul karena tenggorokannya yang mulai perih. Matanya berkaca-kaca, selaput bening melapisi retinanya. Tatapan Ayah yang buas berubah sayu. Ia seperti memutar kembali kenangan paling buruknya.

Papa menatap wajah saudara bungsunya dengan tatapan prihatin.

"Aku tidak tahu..." Papa bergumam pelan. Tangan Papa yang teracung dengan pistolnya bergerak turun, berhenti menodong Ayah. Suasananya dengan cepat berubah sedih.

Aku menitikkan air mata. Ternyata Ayah memang benar-benar mencintai Bunda. Ia selalu sayang Bunda, tak pernah ingin kehilangan Bunda. Tak terbayangkan betapa hancurnya hati Ayah waktu itu, kala Bunda berseru secara langsung bahwa Ayah adalah orang yang jahat. Ayah bahkan rela berlutut di hadapan Bunda. Ia rela menjatuhkan ego dan harga dirinya, membuatnya menjadi lebih rendah di depan Bunda. Pastilah hati Ayah hancur untuk kedua kalinya pada waktu itu. Dadaku langsung sesak, bekas luka di dada kiriku jadi nyeri. Rasa sakit yang mencekik merambat di dadaku.

"Apa kesalahan yang pernah kubuat? Apa salahku pada kehidupanku sebelumnya? Sebesar apa keburukan ku hingga kalian tega membunuhku dengan rasa sakit ini? Kalian selalu pergi disaat aku membutuhkan. Aku berbuat banyak hal yang berguna, tapi tak pernah dianggap berharga. Sebenarnya sebodoh apa diriku sampai tidak diinginkan sebegitunya? Apakah aku anak haram? Aku lahir dari rahim yang sama, dari orang tua yang sama. Darahku sama dengan kalian!" Ayah tak sanggup membendung air matanya. Tangisnya pecah dengan sorot mata kecewa.

Demi mendengar Ayah berbicara seperti itu, aku ikut menangis. Untuk pertama kalinya di hidupku, Ayah terlihat begitu lemah dan terluka. Pijakan kakinya pada lantai tak lagi kokoh, lututnya bergetar. Namun dengan sekuat tenaga, Ayah berusaha untuk membuat kakinya tetap berdiri tegak.

"Sejak saat itulah aku tak mau lagi menjadi bagian dari keluarga Triegor. Lagipula aku tak pernah dianggap bagian dari kalian, bukan? Hahaha!" Ayah tertawa getir. Bulu kudukku merinding entah untuk keberapa kalinya.

"Aku menganggapmu, Matthew. Tidak tahukah saat kau menghilang pergi entah kemana, aku yang selalu mencarimu tempat demi tempat? Kau bagian dariku, Matthew, kau adikku!" Papa ikut menangis. Suasana di gedung ini menjadi sentimental. Semuanya menangis, apalagi Ayah.

"DIAM! Kalian tak pernah menganggapku! Semua itu bohong!" Ayah berseru lantang.

Ayah kembali marah. Napas Ayah semakin memburu tak karuan. Jantungnya berdetak cepat, tidak stabil. Ayah menggeram, kedua tangannya mengepal kuat sekali.

"Jika kau peduli padaku maka mengapa aku tak pernah merasa berharga? Jika kau peduli padaku maka mengapa kau renggut orang yang kucintai? Jika kau masih menganggapku adik, maka mengapa kau renggut nyawa anakku?!" Ayah berteriak kalap. Emosinya keluar menggebu-gebu.

"Siapa anakmu? Siapa namanya? Aku tak pernah membunuh anak-anak!" Papa tak mau kalah. Suaranya juga ikut semakin meninggi.

"Kau... Kau ambil jantung anakku, JANTUNGNYA!"

Seisi gedung lantai dua mendadak lengang. Yang tersisa hanya gema suara Ayah. Mama menitikkan air matanya. Sebuah potongan memori yang hilang, ia akhirnya bisa mengingat sesuatu.


.
.
.

To be continued

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang