Apologize

258 145 50
                                    

Happy Reading!

.

.

.

Bugh!

Aku terbanting jatuh. Tanganku gemetar menyentuh lantai, kakiku dengan susah payah berdiri lagi. Aku merangsek maju. Kepalan tanganku terangkat, bersiap mengirim pukulan telak.

Bugh!

Itu bukan pukulanku. Aku kembali terjatuh, terkapar di lantai.

"Bangun! Tunjukkan kemampuanmu! Jangan merasa lemah hanya karena kau perempuan, wahai anak muda. Setiap orang memiliki kekuatan yang hebat. Aku yakin kau memiliki kekuatan itu!" Seorang pria dengan umur hampir memasuki kepala lima itu meneriakiku. Dia George, seorang petinju handal yang melatihku seminggu terakhir ini. Ia yang meninju wajahku hingga terkapar di lantai tadi.

Aku berusaha bangun lagi. Kukumpulkan semua kekuatanku. George benar-benar petinju yang luar biasa. Kepalan tanganku yang sebelumnya bisa mematahkan tulang hidung lawan, kini tidak berdaya berada di hadapannya. Aku kalah berkali-kali.

Aku melangkah mendekatinya, kukirim pukulan tipuan. Tangan kiriku melayang ke arah wajahnya, tapi tangan kananku yang bergerak memukul pundak kirinya.

Bugh!

Tinju kami sama-sama bertemu. Aku tidak terkena pukulan, memang. Tapi dengan tenaga George yang besar dan tenagaku yang mulai menipis, aku tetap terbanting jatuh.

Keringat mengucur deras dari dahiku. Badanku sakit-sakit, rasanya remuk redam. Aku berusaha bangkit lagi, tapi gagal. Tenagaku sudah habis terkuras hanya untuk berusaha meninju badan George. Aku jatuh tengkurap di lantai gimnasium.

"Cukup latihannya. Kemajuanmu sudah terlihat. Kau bisa menggunakan pukulan tipuan yang kuajarkan langsung di lapangan. Tanganmu bisa bertemu dengan tinjuku. Itu kemajuan yang luar biasa. Kau termasuk yang cepat belajar, Nak. Apalagi Kau seorang perempuan. Tidak pernah sebelumnya aku menerima murid perempuan yang ingin belajar tinju. Bangunlah."

George berjalan mendekat ke arahku. Ia merunduk, mengulurkan tangannya. Aku menerima uluran itu. Aku bangkit berdiri dengan sisa-sisa tenaga. George menepuk-nepuk bahuku dengan santai.

"Kerja bagus, Thalia. Perbanyak latihanmu, kita bertemu lusa nanti."

Aku mengangguk. Ia berbalik memunggungiku, lalu berlajan keluar dari gimnasium.

Kakiku masih bergetar. Aku seketika ambruk, kembali terduduk. Nafasku masih tersengal tak beraturan. Detak jantungku berdegup kencang tak sesuai iramanya. Aku melepas kedua sarung tinjuku, lalu merebahkan badan di lantai. Aku lelah. Biarkan aku mengisi ulang tenagaku sebentar di lantai dingin ini.

***

"Thalia..."

Seorang perempuan dengan rambut sepunggung menghampiriku. Tangannya menggenggam sebuah botol minum. Botol nya berembun, pasti isinya air dingin.

"Kenapa, Ma?" Aku menghentikan gerakan samsak yang berayun.

Aku melepas sarung tinjuku, membuangnya sembarangan. Aku mendekat ke arah Mama. Ia menyodorkan botol minum, aku menerimanya.

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang