Death

242 136 28
                                    

͜✩ Jangan lupa buat komen, sekalian klik tombol bintangnya ya! Vote gratis kokk.
Don't do a plagiarism, i know that your brain were better than me.

Happy Reading!

.

.

.

"Kau, di umurmu yang nyaris 20 tahun ini sedang mencari saudara kembarmu."

"Siapa kau?" Aku bertanya was-was.

"Kau pindah ke sini dari London, kan?"

Dadaku berdegup kencang sekali.

"Kau pastilah tinggal bersama dengan Monsieur Mike. Bersama Madame Natta, Monsieur Fort dan Mier. Benar, kan?"

Pernyataan yang disebutkan satu persatu oleh orang ini membuat mataku semakin terbelalak. Astaga! Informasinya semuanya benar. Apa yang ia ucapkan membuatku merinding. Itu menyeramkan.

"Jawab aku, Monsieur. Siapa kau?" Aku menekankan suaraku. Aku berusaha menciptakan aura mencekam.

"Aku Green. Mantan dokter bedah di rumah sakit ini. Aku sudah lama pensiun, umurku sudah lebih dari 60 tahun."

Ternyata aku salah kira. Umurnya sudah 60 tahun lebih. Namun fisiknya masik terlihat sebagai orang berumur 50 tahun.

"Lalu apa maumu memanggilku ke sini, Green?"

"Kau harus tahu banyak hal, Nona. Hidupmu pasti dipenuhi hal aneh dan tanda tanya, bukan?" Green berbicara dengan nada serius.

Mataku yang tadinya dingin berangsur-angsur hilang. Aku menatapnya dengan tatapan terkejut. Ini benar-benar menakutkan. Apakah selama ini dia memata-mataiku? Kenapa semua pernyataannya tidak ada yang salah?

"Bagaimana kau bisa tahu itu? Aku tidak pernah menceritakan hal ini kepada siapapun, termasuk Ayah dan Ibuku." Aku meremas jari. Berusaha senetral mungkin agar tidak ketahuan kalau aku terkejut.

"Percuma kau tutupi, Nona Thalia. Aku tahu kau terkejut," Green berbicara dengan santai.

"Mungkin kau melihatku dengan kesan orang tua mantan dokter yang usil, tukang mengada-ada dan sok tahu. Tapi aku benar-benar tahu, Nona."

"Tapi darimana kau tahu? Apakah dulu kau bekerja sebagai dokter pribadi untuk ayahku, atau ibuku?"

"Terserah kau mau menganggapku apa. Tapi aku hanya bilang bahwa aku adalah seorang mantan dokter," Green berhenti sejenak. "Tapi yang harus kau tahu, Ayah dan Ibumu itu bukan orang tua kandungmu."

Dadaku rasanya bergetar hebat. Tunggu. Kemana arah pembicaraan ini? Apa maksudnya? Jelas-jelas aku adalah anak kandung Ayah dan Bunda. Ataukah ayah dan ibu yang ia maksud adalah Papa dan Mama?

"Omong kosong apa yang kau bicarakan, Green?" Aku kembali menancapkan mata pisau pada netraku. Aku menatapnya setajam mungkin.

Green tidak menjawab. Ia justru merogoh sakunya, lalu mengeluarkan sebuah arloji. Ia lirik jarum jam di arloji berlapis warna emas itu.

"Aku ingin memberimu informasi lebih banyak, Nona Thalia. Tapi waktuku sudah habis. Aku memang seorang dokter dulunya, tapi aku juga manusia. Aku sudah tua, dan aku menjadi seseorang yang penyakitan." Green beranjak berdiri dari duduknya. Aku ikut berdiri.

Green merogoh sakunya lagi, lalu mengeluarkan selembar kertas kucal dan memberikannya padaku.

"Sampai bertemu lain waktu, Nona. Kau bisa bicara denganku kapanpun kau mau." Pria tua itu melambai tak acuh, pergi meninggalkanku yang diam mematung.

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang