͜✩ Jangan lupa buat komen, sekalian klik tombol bintangnya ya! Vote gratis kokk.
Don't do a plagiarism, i knew that your brain were better than me.Happy Reading!
.
.
.
Aku melangkahkan kaki turun dari mobil. Kakiku gemetar untuk berdiri, aku memegang erat tangan Ten agar tidak terjatuh.
"Pelan-pelan saja, Nona. Aku akan mremegangimu," kata Ten sambil memegangi bahuku.
Yaaa, bagaimana, ya? Kupikir setelah aku merasa pulih di rumah sakit, aku akan bisa beraktivitas seperti biasa lagi di rumah. Namun nyatanya tidak. Lihatlah, aku berjalan gemetar sambil dipapah pelan-pelan oleh Ten menuju lobi.
Kulihat seorang wanita dengan rambut panjang terurai di punggung datang dari dalam lobi. Ia bergegas mendekatiku. Ia merentangkan tangannya dari jauh. Aku tersenyum lebar, berusaha melangkah lebih cepat ke arahnya.
Aku memeluk erat Mama. Mama mengelus-elus rambut pendekku.
"Bagaimana kabarmu, Thalia? Sudah merasa lebih baik?"
"More than better, Mom. Sejak semalam aku sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah. Aku bosan terus terbaring di ranjang rumah sakit yang dingin, hanya ditemani denging elektrokardiograf yang berisik di telingaku."
Mama tertawa mendengar jawabanku. Aku hanya nyengir lebar.
"Ada-ada saja, putriku ini." Mama menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oh, Ten, biar aku saja yang mengantar Thalia ke kamar. Kau bisa membantu membawakan tas milik Thalia dari mobil." Mama mengambilku dari Ten. Ten mengangguk nurut, ia berbalik badan menuju mobil.
"Ayo, pelan-pelan saja." Mama memapahku menuju lift.
Luka jahitku belum benar-benar kering. Butuh waktu lama untuk sembuh, tergantung dengan kondisi pasiennya. Jahitan luar saja belum kering, bagaimana pula dengan jahitan dalamnya. Aku sesekali meringis menahan sakit sambil memegangi perutku.
Mama membukakan pintu kayu berukuran 1×2 meter di depanku. Harum ruangan dari dalam menyeruak, aku mencium semerbak wanginya. Aku rindu kamarku. Hampir empat belas hari aku terbaring lemah di rumah sakit. Kamarku masih dalam kondisi yang sama. Tidak satu benda pun bergeser dari tempatnya. Posisi barang-barang masih semula seperti sebelum aku pergi meninggalkan kamarku. Untungnya tidak ada debu yang menempel, masih tetap bersih saat seperti aku rajin membersihkannya.
Aku merebahkan badan di sofa berwarna biru nude. Aku menyelonjorkan kaki. Di sebelahku ada Mono, boneka kucing yang diberikan oleh orang anonim saat hari ulang tahunku. Manik matanya sudah ku ganti dengan yang normal, tidak ada lagi kamera pengintai di matanya. Aku bisa dengan bebas melakukan apapun bersama Mono.
Mama membawa segelas susu hangat dari pastry di kamarku. Ia meletakkan gelas susu di atas meja, lalu duduk di sebelahku.
"Tidurlah, Thalia. Istirahat yang cukup, kau harus memulihkan tenagamu."
Mama membelai lembut rambutku. Aku mengangguk pelan. Sapuan tangannya di kepala membuat mataku berat dibuka. Aku mengantuk.
Aku memejamkan mata, lalu terbang bersama bunga tidur.
***
"Ten," Aku memanggil Ten yang duduk di sudut ruangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Daughter
Teen FictionHidup dengan tanda tanya di setiap sudut kepala. Jawaban untuk semua tanda tanyaku terlalu jauh. Harus kupertaruhkan nyawaku untuk mendapatkan setiap jawaban. Keluarga, senjata api, uang, pertumpahan darah, dan pertemanan. Kupanjat semua tebing yang...