Tandai kalau ada typo ya!
Happy Reading!
.
.
.
Aku mengambil gagang telepon. Kupencet nomor demi nomor. Kudekatkan gagang telepon itu ke telingaku.
Tuut... Tuut...
Suara telepon memanggil berbunyi. Aku menunggu jawaban dari orang yang kutelepon.
"Halo?"
"Ah, halo George." Aku menyapa George.
"Ada apa, Thalia? Kau ingin berlatih lagi? Bukankah kemarin kita baru saling memukul?" George tertawa pelan di seberang sana. Aku menggeleng, walau tahu George tidak akan melihat gelenganku.
"Aku hanya ingin bilang untuk berhenti sementara, George. Kedua tanganku sakit, diperban. Aku tidak bisa tergopoh-gopoh berdiri untuk memukulmu." Aku berkata sambil sedikit bergurau.
"Astaga, bagaimana bisa?"
"Aku hanya kelewat semangat, George. Aku tidak bisa berhenti berpikir bagaimana cara untuk mengalahkanmu."
George tertawa lagi.
"Ya ampun, baiklah. Kuharap kau cepat sembuh, agar aku bisa membuat lebam di wajahmu lagi."
"Tunggulah. Aku, murid yang kau banggakan ini yang akan menonjok pipimu, Range." Aku dan George sama-sama tertawa. Entah lelucon macam apa ini.
Sambungan terputus, aku meletakkan telepon. Aku belum membeli ponsel lagi. Selama seminggu lamanya aku masih belum bertemu Papa. Aku takut. Lagipula ponsel tidak berguna di sini. Aku akan jarang memegangnya. Bayangkan saja jika ponselku baik-baik saja. Boleh jadi sampai saat ini aku masih menjadi Thalia yang lemah.
Aku berjalan ke ruang depan. Aku mengambil dua lembar kertas. Kutatap kertas itu. Matthew Minareen dan Kanaya Willson. Nama kedua orang tuaku tercantum di dua kertas itu. Aku diam berpikir. Haruskah aku ke sana untuk mencari-cari jejak mereka?
Aku meletakkan kembali kertas itu. Aku membuka pintu kamarku dengan tangan yang masih diperban. Setelah melihat kedua nama orang tuaku itu aku jadi teringat dengan Papa. Semenjak kejadian yang lalu itu, aku belum sempat bertemu Papa lagi. Aku memutuskan untuk keluar, pergi ke lorong kiri, ke kamar Papa.
Aku mengetuk pintunya. Tidak ada jawaban. Aku menekan handle pintu.
Klek!
Tidak dikunci. Aku mendorongnya kedalam. Kepalaku melongok, tengak-tengok kanan dan kiri. Sepatu Papa dan Mama tidak ada, aku kembali menutup pintu. Aku berjalan menuju lift. Aku berpapasan dengan salah satu pengawal, tangannya memegang setumpuk kertas —aku tidak tahu apa isinya.
"Hei, tunggu!" Aku menghentikan langkahnya.
Pengawal itu berhenti. Lalu menatap wajahku, menungguku berbicara. Aku melihat ke dada kirinya. 'Mario Bross', nama itu terpampang di name tag-nya.
"Mario, kau lihat Papaku?"
"Oh, Tuan Besar ada di ruang kerjanya, Nona Muda. Ia sedang bersama Nyonya Besar, membicarakan sesuatu," Kata Mario.
"Terima kasih, Kau bisa melanjutkan urusanmu."
Mario membungkuk, lalu segera pergi menuju tempat tujuannya.
Aku bergegas ke ruang kerja tempat Papa berada. Tidak jauh dari ruang rapat, ruang kerja Papa berada persis di samping kirinya. Aku mengetuk pintu.
"Masuklah!" Terdengar seruan Papa dari dalam.
![](https://img.wattpad.com/cover/330150542-288-k438946.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Daughter
Teen FictionHidup dengan tanda tanya di setiap sudut kepala. Jawaban untuk semua tanda tanyaku terlalu jauh. Harus kupertaruhkan nyawaku untuk mendapatkan setiap jawaban. Keluarga, senjata api, uang, pertumpahan darah, dan pertemanan. Kupanjat semua tebing yang...