Cousin

335 182 23
                                    

Happy Reading!

.

.

.

Aku, Papa dan Tante Natta kembali ke dalam mobil. Acara dibubarkan. Sekarang baru jam 9 malam, seharusnya acara ini masih berjalan selama datu jam kedepan.

Papa menghela nafas berat, ia melonggarkan dasinya. Mataku tertuju pada kemeja Papa. Di kemeja putihnya ada bercak merah. Lengan Papa-

"Pa, tangan Papa berdarah!" Aku terkejut.

Lengan kemejanya robek, terkena serempetan peluru. Kupikir Papa tidak akan terluka karena tembakannya meleset, tapi ternyata salah.

Papa memutar lengannya, ia melihat bercak darah. Sepertinya ia juga baru sadar.

"Oh, tidak apa-apa, tidak sakit."

"Nanti harus diobati di rumah, jangan seperti yang lalu-lalu itu. Sudah kubilang diobati malah dibiarkan."

Tante Natta mengomel. Katanya dulu Papa pernah terluka, namun ia lupa akan lukanya, tidak diobati dengan cepat. Akhirnya nyaris infeksi.

Papa hanya tersenyum, menurut.

Limosin hitam langsung melaju di jalanan. Sudah mulai larut, tapi jalanan masih tetap ramai. Sekali lagu tidak ada percakapan di dalam mobil.

Aku menghadap ke jendela sambil menatap pucuk menara Eiffel. Aku kepikiran tentang kejadian tadi. Mengapa tiba-tiba penyusup itu datang? Mengapa pula ia mengincar Papa? Pasti itu hanya sekadar untuk mengacaukan pertemuan. Jika memang targetnya adalah Papa, tidak seharusnya ia membuat keributan. Ia bisa saja menyamar menjadi seseorang, lalu mendekati Papa diam-diam. Mengapa harus keributan? Ah, kepalaku pusing.

Lima belas menit berlalu. Mobil Limosin dengan mulus berhenti di depan pintu lobi utama. Pengawal-pengawal masih setia menjaga pintu masuk rumah ini. Salah satunya membukakan pintu mobil, kami bertiga turun.

Kulihat Ten berlari tunggang-langgang dari dalam lobi. Aku melihatnya dengan tatapan heran. Dengan cepat Ten berhenti di depanku dengan napas tersengal-sengal. Ia menarik nafas panjang-panjang.

"Nona Thalia tidak apa-apa? Tidak terluka? Kudengar di sana ada keributan, seorang penyusup melepaskan dua tembakan."

Ten berkata sambil mengecek kondisiku. Aku terpaku sebentar, lalu tertawa. Ten melihatku dengan raut wajah kebingungan.

"Aku baik-baik saja, Ten. Aku tidak terluka, kau tidak perlu khawatir. Justru yang perlu kau khawatirkan adalah Papa. Dia yang terluka, bukan aku."

Ten menoleh ke arah Papa. Matanya tertuju pada kemeja Papa yang robek dan berwarna merah. Ia langsung menutup mulutnya.

"Ah, itu... Maafkan aku, Tuan. Mari kuantar masuk ke dalam."

Ten salah tingkah, terbata-bata ia mempersilakan Papa masuk. Aku tertawa geli, mengikuti mereka dari belakang.

***

Aku berjalan ke taman. Kulihat seseorang duduk di bangku sana, sambil mengerjakan sesuatu. Aku mendekatinya, itu Mier.

Mier sedang menyusun sebuah miniatur. Dia anak arsitektur, sepertinya itu tugasnya. Mukanya begitu serius menatap miniatur rumit itu, sampai tidak sadar kalau aku berada di sebelahnya.

Tunggu. Aku mengenali miniatur itu. Bukankah ini miniatur Quell Plaza, yang ada di acara dua hari lalu itu?

"Kok miniaturnya ada padamu?" Tanyaku.

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang