The Endgame

175 19 5
                                    

Happy Reading!

.

.

.

Darah muncrat kemana-mana. Kakiku lemas, tak lagi ada tenaganya. Tubuhku jatuh tak berdaya di atas lantai gedung. Bajuku penuh darah, wajahku berubah merah karena darah yang mengalir.

"AYAH!!" Aku berteriak kalap.

Bukan aku yang tertembak, melainkan Ayah. Dada kanan Ayah tertembak oleh peluru. Ada sebuah tembakan yang melesat lebih cepat dibanding gerakan Ayah. Sebenarnya Ayah sama sekali tak berniat menembak kepalaku. Aku tahu telunjuk Ayah sudah mundur dari pelatuk pistol, namun justru malah Ayah yang tertembak.

Adalah Mier. Dia yang memuntahkan timah panas dari pistolnya. Ia bergerak sepersekian detik lebih cepat. Tanpa babibu Mier menembakkan pistolnya ke arah Ayah, dan itu tepat sasaran. Jaraknya hanya berbeda 5 senti dari wajahku, dan peluru itu mengenai dada kanan Ayah.

"AYAH, BANGUN AYAH! BANGUN!!" Aku mengguncang tubuh Ayah berkali kali.

Aku panik sekarang. Keringat dingin mengucur deras dari dahiku. Darah segar mengalir dari baju Ayah, mendominasi jas biru yang ia kenakan.

"APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN, MIER?!" Aku membentak Mier. Tapi Mier hanya diam dengan tatapan tajam.

"Kau mau terbunuh oleh 'ayah' mu itu hah?" Mier justru berseru sarkas.

"DIA TIDAK AKAN MENEMBAKKU, TIDAK AKAN!! Aku melihat sendiri tadi! Jari Ayah sudah lepas dari pelatuk , ia tidak berniat menembakku!" Aku mengerahkan seluruh suara yang bisa kukeluarkan.

Aku berdiri, mengambil pisau lipat dari sakuku. Kukeluarkan bilah pisaunya. Aku memejamkan mata beberapa saat, lalu membukanya lagi. Aku merubah tatapanku. Bola mataku masih normal, berwarna cokelat. Namun kuhilangkan perasaanku, kumatikan hatiku. Tatapan mataku kosong, tapi dingin menusuk tulang.

Kuangkat tinggi-tinggi pisau itu, lantas berteriak lantang, "MATI KAU MIERON DÉ TRIEGOR!!"

"HENTIKAN!" Papa menghentikan pertengkaran kami berdua.

"Fort, siapkan mobil! Baron, bantu aku memberikan pertolongan pertama pada Matt!" Papa memberikan instruksi pada Fort dan Paman Baron. Keduanya mengangguk, mereka menuruti perintah Papa.

Mama langsung mendekatiku yang sedang kehilangan akal. Ia mendekapku ke dalam pelukannya. Pisauku terjatuh, seketika kesadaranku kembali. Aku menangis tergugu di pelukan Mama. Aku ingin berteriak, tapi tidak sanggup.

Hidupku kacau balau tak menentu. Aku tak sempat merasakan perasaan bahagia selama dua bulan terakhir. Dan aku telah hancur sekarang. Fakta menghancurkan seluruh pondasiku. Kenyataan menampar telak jiwa dan ragaku.

Aku menangis sejadi-jadinya.

Dari luar gedung terdengar suara klakson mobil, Semua orang reflek menoleh ke sumber suara. Fort dan Paman Baron langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Ayah, membawanya turun. Sebisa mungkin tkp jangan terlihat oleh orang luar. Untungnya, Fort langsung memanggil Maroon, dokter yang bekerja untuk Triegor.

"Fort, Jay, kalian pergi ke rumah sakit, jadi wali sementara untuk Matthew, jaga dia sampai aku menyusul ke sana. Mier, kau pergi menjauh, jangan dulu dekati Thalia." Papa memberi perintah. Semuanya mengangguk, kecuali Mier. Ia menunduk, lalu melangkah menjauh menuju pojok ruangan. Ia memilih berdiri di sebelah Bailey dan Baldwin, membuat keduanya mengelus punggung Mier.

Aku melepas pelukan Mama. Tanganku bergerak menyeka ingus, juga mengelap air mataku. Mama mengecup keningku berulang kali. Setelah bertahun-tahun, ternyata Mama baru berhasil mengembalikan ingatannya. Mama bisa mengingatku, putri paling bungsunya.

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang