Get Out

147 84 59
                                    

͜✩ Jangan lupa buat komen, sekalian klik tombol bintangnya ya! Vote gratis kokk.
Don't do a plagiarism, i know that your brain were better than me.

Happy Reading!

.

.

.

Aku berjongkok, mendekati Nakhun dan sedang duduk pasrah di atas tanah.

"Nakhun, tolong bukakan sepatuku." Aku menyelonjorkan kaki.

Nakhun berbalik, mengambil posisi agar bisa membukakan sepatuku. Nakhun menarik bagian alas sepatuku dengan halus dan lembut. Begitu selesai keduanya, aku mengambil sepatuku dengan kaki telanjang. Kuambil sebuah benda di dalam sepatu yang kukenakan sejak tadi siang.

Sebuah pisau lipat. Aku selalu membawanya bersamaku. Tadinya saat beradu fisik, aku berniat untuk menggunakan pisau lipat yang kubawa. Namun keadaannya terlalu genting, aku tidak bisa mengambilnya lebih dulu.

Aku memberikan pisau lipat itu pada Nakhun. "Hei, tolong bukakan borgol ini untukku."

Nakhun dengan nurut mengikuti perintahku. Sebenarnya bukan perintah, aku hanya meminta tolong.

Nakhun salah fokus dengan kakiku. Sebuah baret luka terlihat di telapak kakiku. Lukanya tidak lebar, tapi cukup untuk membuat kaki pincang beberapa waktu. Darah segar akan mengalir jika kakiku ditekan.

"Thalia, kakimu berdarah," Nakhun maju mendekat ke kakiku. "Kenapa kamu letakkan pisaunya di dalam sepatumu? Kenapa tidak di kantung baju saja?"

Aku menggeleng cepat. "Kalau suatu saat kita membawa senjata, dan senjata itu dilucuti, maka kita tidak akan punya apa-apa lagi untuk melindungi diri," aku berhenti sejenak. "Sudahlah, buka saja. Aku akan mengobatinya nanti."

Klak!

Borgol terbuka. Tanganku bebas sekarang. Aku mengibaskan tanganku pegal. Kuambil lagi pisau yang ada di tangan Nakhun, lalu kubukakan borgol untuknya. Sesudah Nakhun, aku beralih pada Laureen yang duduk di sebelah pintu sel. Mungkin ia sedang berharap, semoga ada gangster baik hati yang mau membukakan pintunya. Kubukakan borgol yang mengunci tangannya.

Aku bangkit berdiri, hendak berjalan menuju pintu sel.

"Thalia, tunggu sebentar!" Nakhun menahan gerakanku. Aku berbalik.

"Kenapa?"

Nakhun tidak menjawab. Ia membuka kancing kemeja putihnya. Tangannya merobek kemeja itu menjadi sehelai kecil kain. Nakhun berjongkok di depanku seraya menarik kaki kananku yang terluka. Ia lilitkan kain itu di telapak kakiku, mencegah luka terbuka lebih lebar, dan menghindari masuknya pasir atau tanah ke dalam luka. Aku diam saja melihat Nakhun melakukan hal itu. Tangannya mengambil sepatuku yang tergeletak begitu saja di tanah. Ia pakaikan sepatu itu di kakiku, lalu dia berdiri.

"Sudah," katanya.

Aku sempat terdiam beberapa saat, lalu tersenyum.

"Terima kasih, Nakhun."

Lantas aku berdiri, mendekati pintu sel. Kuamati kunci gembok yang mengunci pintu sel ini. Kucoba untuk kumasukkan pisau lipatku ke dalam lubang gembok. Pisau ini kecil, siapa tahu aku berhasil membukanya. Namun nihil hasilnya. Tidak terjadi apa-apa pada gembok itu. Boro-boro terbuka, bergeser saja tidak.

Aku menendang dengan keras pintu sel itu. Aku tersulut emosi. Semuanya jadi berakhir begini. Padahal hal ini sama sekali tidak ada di perkiraanku. Oke, baik. Aku memang sejak awal berpikir, pasti akan ada huru-hara yang terjadi antar Triegor dan Xiè Yuang setelah negosiasi ini, namun kupikir tidak akan seperti ini.

[✓] DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang